8A. ADA YANG BARU DARI HAL BARU

379 11 3
                                    

01

Hari ini tepat tiga hari di mana aku sudah berpisah secara pertemanan dengan bangkit. Aku berjalan gontai dari kamar menuju dapur. Memikirkan rentetan kejadian sebelumnya. Bisnis yang gagal. Pertemanan yang berantakan. Sepertinya Pertemanan kami sejak awal memang tidak cocok.

Aku menuang air dari ceret ke gelas. Bangkit memang yang pertama memutuskan, tetapi semalaman aku memikirkan, apa jangan-jangan permasalahan ini karena aku? Sebab komunikasi kami tidak pernah lancar. Atau Bangkit yang kurang memahami?

Aku menghela napas saat sesak kembali menghimpit dadaku. Bisnis kami memang baru tahap awal. Baru membicarakan rencana-rencana kecil, vendor, dan marketing. Belum benar-benar membentuk bisnis seperti usaha pada umumnya. Hanya pada konseptual. Aku baru menyadari, benar kata orang, hubungan bisnis tidak boleh berlandaskan pertemanan. Pasti berujung berantakan karena tidak mampu profesional. Sial. Aku semakin pusing. Tidak bisa, yang kali ini, aku harus bercerita pada Devira.

02

"Gila ya si bangkit," suara Devira ikut mengisi rumahnya kafe yang kami datangi.. . ..

"Tahu gitu nggak gue kenalin ke lo. Terus, kenapa lo baru cerita sekarang soal Bangkit?" Devira semakin uring-uringan sambil mengunyah kentang goreng yang kami pesan beberapa saat lalu di kafe langganan kami, kafe yang nyatanya menjadi bagian dari aku dan Bangkit yang pernah membangun mimpi yang sama sebelum akhirnya kandas.

"It's okay, Dev." Devira memang yang pertama mengenalkan aku dengan Bangkit, tapi keputusan membangun bisnis cloting dengan Bangkit murni dariku.

"Nggak bisa. Gara-gara gue, lo jadi kenal Bangkit," ungkap Devira dengan suara lebih lirih. Nggak, nggak. Devira enggak salah. Aku segera menggerakkan kedua tangan tidak setuju.

"Nggak. Ini salah gue yang mudah percaya orang, Dev."

"No!" jerit Devira menggeleng. Astaga, kami justru saling berdebat.

"Gue sama Bangkit emang nggak cocok buat bangun bisnis, Dev." Aku kembali memberi pengertian.

"Iya, deh. Tapi, jangan salahin diri lo juga, ya."

Mendengar itu, aku mengangguk kecil. Sesaat sebelum hangat genggaman tangan Devira pada punggung tanganku. Pada akhirnya, setelah pahit dan manis juga beratnya kehidupan aku cerita ke Devira, mampu membuatku jauh lebih lega.

"Lo jalanin hidup lo yang sekarang. Fokus kuliah sama pertemanan lo yang sekarang."

Aku mengangguk sambil mengaduk asal-asalan sedotan lemon tea di depanku. "Iya, apalagi gue juga belum beresin urusan utang gue." Sesuatu yang membuat dadaku semakin berat.

"Nah, kan! Kata gue lo kelarin dulu urusan lo itu, apalagi soal utang. Nggak usah mikirin kegagalan-kegagalan yang terjadi. Justru dari gagal, bikin lo harus bangkit dan hati-hati lagi."

Aku mengangguk lagi, kali ini tanpa lupa tersenyum pada Devira. "Bener juga. Thank you, ya, Dev."

Beberapa minggu setelah masalah dengan Bangkit, aku justru menemukan kesibukan lain untuk menghibur lelah dan sedih, aku mulai menonton beberapa music video K-Pop lewat komputer konter. Setiap pulang kerja, aku juga memutuskan langsung pulang ke rumah dan menonton beberapa variety show grup K-Pop, ada juga survival yang aku ikuti. Semua hal yang aku lakukan membuatku melupakan masalah juga membuatku lebih tenang mengambil langkah. Aku bahkan membangun pertemanan dengan teman-teman online yang bisa membuatku senang dan membuat aku update soal K-Pop.

Setelah satu bulan kuliah, aku resign dari konter, uang yang aku dapat dari gaji di konter aku gunakan untuk biaya sehari-hari selama kuliah sambil memikirkan kira-kira pekerjaan apa yang bisa aku lakukan sambil kuliah.

"Issa?"

Lamunanku tersapu sebelum pandanganku naik usia mendengar panggilan barusan. Sebuah motor berhenti di depanku yang sejak beberapa menit lalu menunggu di teras rumah. Aku tersenyum pada laki-laki berambut ikal dan sedikit gondrong melewati telinga tersebut. Roy. Salah satu teman kuliah yang juga aku kenal sejak MABA.

Roy menepuk bagian belakang jok motornya yang mengkilap, pasti habis dia cuci tadi pagi.

"Jadi ke kafe, kan?"

Aku mengangguk. "Jadi, dong," balasku sebelum ikut naik ke motornya.

"Pegangan sama gue, Sa."

Aku kontan tertawa. "Modus, udah buruan nanti kita telat."

Roy tidak marah, dia justru ikut tertawa. "Oke. Ayo berangkat!" serunya sebelum melajukan motornya membelah jalanan yang ramai.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 19, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kisah Issa & SangkaraWhere stories live. Discover now