2. BUKAN LAGI KEPULANGAN

622 31 1
                                    

Everyone has a home and I have Devira, sahabatku. Aku mengenal Devira sejak kami masih mengenakan seragam putih-biru dan rambut kucir dua. Dia sedikit banyak tahu soal kehidupan dan juga percintaanku. Devira sudah sering mendengar kabar jatuh cinta dan patah hatiku hingga asam-manis hubungan keluargaku. Setiap bersama Devira, aku selalu berani jujur tentang kehidupan juga perasaanku, termasuk tidak menyembunyikan kabar kandasnya hubunganku dengan Juan.

"Menurut gue nih, Sa, kunci hubungan itu ya komunikasi. Juan merasa nggak kenal lo karena lo nggak pernah cerita apa pun sama dia selain yah, kalian pacaran cuma haha-hihi aja," reaksi Devira sambil menghabiskan kacang kulit dari stoples yang dia pangku.

"Tahu, tahu. Tapi nggak harus sekarang banget buat cerita ke dia, kan. Gue malu dan takut."  Kami berada di kamarku, duduk di atas ranjang. Sejak setengah jam lalu juga sepanjang hujan di luar masih turun, tidak satu cerita pun tentang Juan aku lewatkan pada Devira.

"Kenapa juga harus takut? Karena kalian beda gitu? Dia dari keluarga cemara dan lo dari dari keluarga broken home?" Tahu tidak, Devira itu selain terkenal dengan berisik, tapi penyayang, ya yang satu ini, dia... ceplas-ceplos meski pedes.

Aku beralih tiduran di ranjang sambil menatap langit-langit kamar yang beberapa sudutnya kotor sarang laba-laba. "Itu lo tahu."

Juan memiliki keluarga yang harmonis dan hangat. Ibunya sangat baik. Kalau aku mampir ke rumah Juan, ibunya akan repot-repot membuatkan makanan yang enak, katanya khusus buat aku. Juan juga memiliki adik yang cantik dan pintar, dia ramah banget dan cukup pemalu. Meski begitu, aku selalu gemas sama adiknya karena tawanya yang renyah mampu menggelitik perutku. Namun, keluarga kami berbeda. Berterus terang pada Juan tentang diriku yang sebenarnya sama saja menajamkan perbedaan tersebut.

"Kalaupun dia tahu, takut aja dia menerima masalah gue sebagai bentuk tanggung jawab, apalagi gue needy banget sama dia," kataku ikut menyantap kacang kulit sambil menyadari jika hujan di luar mulai reda.

"Kadang, cerita atau enggak, bisa jadi ujungnya sama, kan? Sama-sama ditinggalkan."

Benar, kan. Mulut Devira meski halus bicaranya, menyindirnya ugal-ugalan.

"Ya udah. Nggak usah dipikir. lagian, nggak semua hubungan harus bersama juga kok. Putus itu takdir. Belum jodoh. Masih kecil juga lo," lanjutnya. Devina terlihat diam sejenak, seperti masih ada yang ingin dia ucapkan.

"Besok lagi kalau memulai hubungan baru, jangan diulang. Yang kali ini bisa jadi pertimbangan lo terbuka sama pasangan lo. Biar kalian saling memahami." Devira melotot tetapi bukannya tersinggung, aku terbahak kecil. Seperti kataku, dia penyayang, salah satunya dari kalimatnya barusan.

"Iya-iya, tapi Dev...." Aku menjeda sebentar.

"Apa lagi, nih?" Devira seperti memasang kuda-kuda waspada.

"Lo sadar nggak sih, kayaknya kisah cinta gue nggak pernah beruntung, deh." Aku tiba-tiba kepikiran. Miris banget, deh, kisah cintaku.

"Perasaan lo doang kali. Masih muda juga."

"Ih, beneran, Dev!"

"Lo mikir begitu karena lo merasa belum bahagia, Sa. Bahagiain diri lo dulu, Sa. Baru bahagia dengan orang lain."

Salah satu alisku naik mendengar ucapan Devira barusan. "Maksudnya?"

"Daripada lo mempertanyakan hal begituan, mending lo mulai menata diri lo, bahagiain diri lo dulu. Fokus diri lo dulu. Siapa tahu habis itu lo bisa lebih bijak membangun hubungan dengan orang lain. Iya nggak, sih?"

Aku baru akan memberi jawaban, tetapi urung  saat suara berisik tiba-tiba menengahi obrolan kami. Suara dari ponselku yang tergeletak di atas meja belajar.

"Bentar," kataku segera bangun lalu beranjak. Bunyinya sempat berhenti sejenak sebelum kembali berdering. Siapa, sih? Alih-alih segera mengangkat, aku terdiam saat satu nama muncul di layar. Jantungku berpacu lebih kencang. Aku mungkin bisa menguasai raut wajah untuk tidak tegang, tetapi tanganku sedikit bergetar saat dering telepon tidak kunjung berakhir.

"Siapa, Sa?" tanya Devira dari belakang.

            Tahu tidak, aku tiba-tiba jadi lupa cara mengangkat panggilan hingga deringnya kembali mati. Aku kira sudah berakhir, ternyata tidak lama kemudian suaranya kembali menjerit memecah keheningan kamar.

"Sa?"

Devira tahu-tahu sudah berdiri di sampingku. Dia ikut melihat layar ponselku dan aku seakan bisa membaca raut wajahnya, Devira terlihat tegang saat mengetahui nama kontak yang menghubungiku.

"Gue angkat dulu," kataku akhirnya.

Devira sepertinya mengerti, jadi dia mengangguk dan memberikan aku ruang dengan izin ke kamar mandi, sementara aku menghentikan dering ponsel dengan menyambungkan telepon kami.

            "Halo?" Sapaan dari suara wanita yang lama tidak aku dengar lebih dahulu menyambut. Suaranya masih sama seperti terakhir kali yang aku dengar. Lembut, sekaligus terdengar bergetar dalam waktu bersamaan.

"Iya, Bun?" Padahal, aku berusaha bersikap tenang, nyatanya suaraku jauh lebih bergetar. Iya. Ini telepon dari Bunda. Sosok yang sudah beberapa bulan ini tidak menghubungiku.

"Kamu apa kabar, Kak?"

Pasti jika anak-anak lain akan lebih sering mendapat pertanyaan kamu sudah makan belum atau lagi di mana? Bunda tidak. Dia bertanya tentang kabarku yang lama tidak dia dengar.

            "Baik. Kenapa, Bun? Tumben telepon."

"Nggak apa-apa, Bunda cuma mau tahu keadaan Kakak. Masa nggak boleh?" Tawa kecil bunda yang terdengar justru tidak menular padaku. Mungkin, dinding di kamar tahu seberapa usangnya pertanyaan barusan.

"Kak?"

"Hm?" Ada banyak yang mengganggu isi kepalaku, sampai aku hanya berhasil mengeluarkan satu kata tersebut.

"Ayo pulang."

Aku meremas ujung kaus yang aku kenakan usia mendengar kalimat barusan.

"Kenapa pulang?"

"Ya, kan, Kakak udah lama nggak pulang ke rumah. Bunda... kangen sama Kakak. Pulang, ya?"

Seingatku aku sudah mengubur dalam-dalam kosa kata tersebut jauh-jauh purnama lalu. Aku tidak tahu cara menjawab, jadi sambungan telepon kami segera terputus begitu saja. Aku sadar ini jahat, atau sebenarnya ini hanya bagian dariku yang mencoba melindungi hati dari dekapan tangis apabila aku menjawab. Akhirnya, aku putuskan untuk menjawabnya melalui chat. Aku tidak kangen.

Iya, nanti aku mampir rumah Bunda.

Mampir. Karena bagiku tidak akan pernah lagi ada kata pulang. Dan dari jendela kamar, aku bisa melihat pekarangan rumah yang tadinya mulai kering, tiba-tiba basah karena hujan yang turun tanpa permisi. Aku sudah aman di dalam rumah, tetapi hatiku tetap dingin dan tidak pernah mendapat perlindungan untuk berteduh. []

Kisah Issa & SangkaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang