4. KEPERGIAN YANG TAK DIINGINKAN

347 15 0
                                    

  01

Pada akhirnya, Bunda berhenti membiayai kebutuhanku. Sejujurnya aku sedikit berharap mungkin Bunda tidak akan setega itu. Bunda serius, aku lepas dari tanggung jawabnya. Tetapi, ini bukan waktunya membuang waktu untuk meratapi nasib. Aku masih harus fokus menjalani hidup, tanpa topangan dari Bunda, artinya aku harus bisa menghidupi diri sendiri sebab ada banyak biaya yang harus aku tanggung. Aku mulai mengkotak-kotakkan biaya hidup, pertama uang jajan yang jangan sampai lebih dari sepuluh ribu. Tidak mungkin juga terus-terusan meminta pada Nenek atau Tante, apalagi mereka juga hidup dalam kekurangan. Ada juga kebutuhan sekolah yang datangnya kerap tidak terduga, kerja kelompok, juga pembelian modul. Berikutnya, biaya sekolah, 350ribu ternyata besar apabila aku menanggungnya sendirian.

Aku kira jauh lebih mudah saat tidak lagi terikat dengan Bunda, ternyata tidak juga. Aku benaran nyaris gila. Uang jajan pas-pasan, hingga sulit membayar biaya sekolah sampai menunggak. Tetapi, aku tidak boleh menyerah! Pokoknya, aku harus bisa menjalaninya, paling tidak sampai akhir kelulusan. Jam sekolah yang padat membuatku tidak bisa membagi waktu sekolah dengan mengumpulkan uang, jadi aku memutuskan berjualan keripik Malaysia di sekolah. Keripiknya agak tipis dengan tekstur seperti pangsit, ada banyak varian rasa seperti keju, balado, dan cabai hijau.

Salah satu kenalanku yang mengajak berjualan, setelah aku bercerita padanya jika aku sedang membutuhkan uang cepat. Dia tidak banyak bertanya dan langsung bersedia membantu. Katanya, "Gimana kalau lo jualan keripik Malaysia? Nanti biar gue yang pasok ke sekolah lo." Aku segera menyanggupi. Di saat-saat begini, kenalanku ini bagaikan malaikat yang berhasil menyelamatkan kondisi burukku. Meski yah, aku sudah mirip pelaku ilegal saja karena saat mengambil keripik Malaysia, aku harus menunggu dia sampai gerbang sekolah sepi. Takut ketahuan satpam atau guru-guru. Berjualan begini berisiko kena sidak dan sita dari sekolah.

Keripik Malaysia aku jual lewat mulut ke mulut maupun grup angkatan di Line, biasanya aku mengabari, keripik Malaysia udah ready, ya. Yang pengin bisa langsung japri atau list. Mereka hanya perlu mengirim chat, setelah itu, aku tinggal datang ke kelas mereka.

Aku semakin semangat berjualan setiap mereka bilang, "Keripiknya enak pisan euy, bisa buat lauk bekal. Besok urang beli lagi, ya, Sa." Atau sampai mengira keripik tersebut buatan tanganku. Padahal, aku mengambil dari supplier.

Selain itu, dalam waktu yang sama, aku juga berjualan aksesori HP seperti case, charger, dan lainnya. Beberapa teman yang membeli keripik Malaysia juga ikut membeli kebutuhan HP.

"Sa, cocok yeuh maneh jadi Mbak-Mbak konter," kata salah satu temanku, dia terlihat merapikan rambut panjangnya sebelum memasang case pada ponsel barunya.

"Iya, deh, isukan urang bikin konter, ya," kelakarku mengundang tawa yang lainnya.

Keuntungan yang aku dapat cukup untuk membayar SPP bulanan yang menunggak. Berjualan seperti ini candu buatku, aku semakin menebar jaring dengan mencoba membantu beberapa teman menjual atau membeli HP karena keuntungannya lumayan besar dan cepat.

"Issa?"

Panggilan barusan datang dari belakang. Salah satu temanku melangkah menghampiri. Rambutnya yang tergerai tertiup angin kipas yang menempel di langit-langit kelas.

"Gimana, Mil? Mau beli keripik juga?" Milla, salah satu teman berbeda kelas denganku.

Milla justru menggeleng. "Bukan."

Aku mengernyit saat menyadari gestur ragu Milla dari tatapannya.

"Terus?" tanyaku bingung. Dia seperti ingin bicara, tetapi ragu. Semakin heran saat Milla mengusap bagian belakang lehernya.

Kisah Issa & SangkaraWhere stories live. Discover now