6. MENCOBA HAL BARU

287 12 0
                                    

Hal-hal yang aku lewati beberapa bulan ini yang akhirnya membuat aku lebih ambisius untuk lari atau bahkan meninggalkan masalah.

Saat itulah aku tahu jika umurku sudah cukup untuk membuat SIM, aku gunakan momen itu sekaligus untuk mendaftar sebagai ojek online, akhirnya aku memutuskan menjalani pekerjaan itu ketika jam pulang sekolah pada sore hari sampai malam dengan meminjam motor pada Kakek. Libur sekolah pun aku lakukan, bahkan sampai aku lulus SMA untuk membantu finansial saat itu karena keterbatasan ijazah. Capek memang, tetapi ternyata menjadi ojek online mengajariku banyak hal, terutama penumpang wanita kerap bertanya soal umurku, kenapa aku memilih pekerjaan ini, aku selalu bilang hanya pekerjaan inilah yang bisa aku jalani karena tidak membutuhkan ijazah dan penghasilannya cukup untuk membiayai sehari-hari.

Kalau hari libur, aku biasa meraup lima puluh hingga seratus ribu per harinya, itu pun aku beroperasi dari pagi hingga malam, tetapi kalau hari biasa sepulang sekolah begitu sampai malam, biasanya aku mendapat dua puluh hingga lima puluh ribu. Dan ketika aku lulus SMA karena punya banyak waktu kosong, penghasilan per minggu bisa mencapai lima ratus hingga delapan ratus ribu, tergantung tingkat ramai penumpang pada minggu itu. Dan itu cukup untuk menutup kebutuhan sehari-hari juga membayar utang pada Milla.

Beberapa hari ini aku tidak bertemu Devira, akhirnya aku putuskan untuk main karena kebetulan sekali satu wilayah dengan penumpang kali ini. Rumah Devira itu berwarna oranye yang mencolok dan saat sampai di pekarangan rumahnya, motor matic hitam yang terparkir di depan garasi menyambut. Motor milik Devira, artinya dia ada di rumah.

Aku mengetuk pintu beberapa kali sambil memanggil namanya. Tidak lama, pintu terbuka dan sosok perempuan yang sudah sedikit berumur tersenyum padaku, itu Mama Devira.

"Eh, Neng Issa. Ke mana aja, kok, baru main? Sini, sini, masuk."

Aku hanya tersenyum sedikit malu. "Iya, Tante. Oh ya, Devira ada?"

"Ada, ada. Masuk aja. Devira ada di dalam kamar." Dan setelah terlibat basa-basi kecil, aku segera mendatangi kamar Devira yang kebetulan pintunya terbuka.

"Oi!" Kepalaku melongok di antara daun pintu dan seketika itu wajah Devira langsung cerah.

"Issa! Ih! Sini, sini, duduk. Habis ngojek, ya?" Devira yang tadinya tiduran sambil bermain handphone di atas ranjang langsung menepuk-nepuk bagian kosong di sampingnya.

"Iya, nih. Mumpung searah, habis nganter di daerah Cipelang, mampir dulu ke sini, deh."

Lucunya, Devira langsung mengambil kertas dan mengipasiku yang masih terengah karena kepanasan.

"Capek, ya? Bentar, gue ambil minum."

"Eh, Dev–" Aku tidak menyelesaikan ucapanku karena Devira sudah melompat dari ranjang dan beranjak keluar. Aku tertawa kecil, tuh, anak senang sekali bersikap tiba-tiba. Tidak lama, Devira muncul dengan satu gelas air putih.

"Nih, minum dulu." Devira mengulurkannya padaku dan segera aku menerimanya sebelum menaruhnya di meja kecil dekat ranjang Devira.

"Lo pucat gitu, mending jangan tiap hari, deh, kerja gojeknya," ucap Devira.

Mendengar itu, aku langsung menggeleng. "Nggak bisalah. Capek, tapi gue nggak bisa kalau nggak tiap hari, gue butuh duit, Dev. Lagi pula, ini pilihan hidup gue."

Walau terkadang, aku diam-diam sedikit iri dengan kemudahan hidup orang lain, bisa menghabiskan waktu untuk bermain tanpa memikirkan uang.

Devira mengelus bahuku. "Pokoknya kalau mau ngeluh, dateng ke gue." Aku langsung tertawa saat melihat Devira menepuk dadanya jenaka.

"Dan kalau butuh apa-apa, bilang ke gue juga," lanjutnya dengan nada tegas.

"Nggak. Nggak usah bantu gue, nggak apa-apa. Serius, gue masih sanggup, kok."

"Nggak apa-apa, gue cuma menawarkan kalau suatu saat lo butuh, dan nggak tahu harus meminta pertolongan ke siapa. Gue siap membantu. Oke?"

Sontak, aku tidak bisa menahan senyum bahagia karena sikap Devira barusan. Sampai, mataku tidak sengaja menemukan beberapa lembar kertas asing yang ada di atas ranjang Devira.

"Ini apa?" tanyaku mengambil salah satu. Aku mengernyit saat membaca tulisan formulir pendaftaran.

"Oh, itu, formulir pendaftaran kelas bahasa."

"Ah, lo mau coba?"

Devira mengangguk. "Oh iya, gue jadi inget. Btw, lo ada niat kuliah nggak?" Sebenarnya Devira bertanya dengan cara santai, tetapi tetap membuat aku sedikit terkejut. Sejujurnya aku memiliki keinginan seperti kebanyakan remaja, bisa melanjutkan kuliah. Namun, aku tidak bisa banyak berharap dengan keadaan saat ini.

"Sa, kok diem?" Devira mengibaskan tangan di depan wajahku. Sepertinya dia menyadari diamku.

"Lo... nggak mau kuliah?"

"Pengin, tapi lo tahu sendiri keadaan gue, kan." Jawaban yang membuat kami akhirnya saling diam saja.

"Tapi Sa, ini kesempatan emas. Apalagi lo juga pinter dan ambis, lho. Saran gue kalau memang pengin, coba cari kampus yang memang biayanya terjangkau. Tahu nggak, kampus yang dekat rumah sakit itu lho. Kayaknya di sana murah, deh."

Aku mendesah. "Tapi, kan, gue belum bisa ambil ijazah." Bagaimana bisa mendaftar jika satu-satunya syarat belum bisa aku ambil dari sekolah.

"Kan, bisa pakai surat lulus dan SKHUN aja. Gimana? Gue pasti dukung banget. Lagi pula, kan, masih ada Bunda lo. Masa... dia nggak mau bantu?"

Aku hanya bisa tersenyum kecut. Apa yang Devira sampaikan tidak salah, aku masih memiliki Bunda. Namun, jika mengingat hubungan kami, sepertinya mustahil meminta bantuan Bunda.

"Lo tahu sendiri, walau dia mampu, Bunda sering keberatan kalau gue masih nggak mau tinggal bareng," ungkapku menyerah.

"Ih, belum juga coba. Mau, pasti mau. Coba dulu aja, Sa. Kita nggak bakal tahu hasilnya, kalau nggak mencoba. Iya, kan?"

Ucapan Devira membuatku berpikir keras. Apa aku memang harus mencobanya? []

Kisah Issa & SangkaraDonde viven las historias. Descúbrelo ahora