7B. MENYAMBUT KECEWA

317 9 1
                                    

03.

Hubungan pertemanan aku dan Bangkit terjalin seru. Pertengkaran kecil sering mampir, tetapi mungkin itu karena perbedaan pendapat biasa serta jarak usia kami yang terpaut hampir empat tahun, umurku baru menginjak 18 tahun, sedangkan Bangkit berusia 22 tahun. Ada beberapa obrolan yang kadang tidak aku mengerti, apalagi aku baru lulus SMA dan kadang aku juga hilang fokus karena efek capek kerja.

Namun, untuk obrolan lainnya, kami berdua cukup aktif dan nyambung. Sehingga hubungan kami menjadi intens walau sering kali bertengkar karena kami tidak sepaham. Kadang cekcok selalu datang, misalnya karena masalah visi dan misi masing-masing dari kami soal rencana usaha clothing. Yah, persoalan komunikasi dan salah paham sederhana itu hanya sementara, jadi masih bisa kami atasi. Apalagi tidak mudah menyatukan satu visi dan misi dari dua kepala yang berbeda. Aku pikir ini karena hal yang sering terjadi dalam tahap awal membangun bisnis.

Kami lebih banyak menghabiskan waktu berdiskusi di kafe. Suasana kafenya juga cenderung tenang dengan bangunan seperti rumah dan taman di sekitarnya sehingga kami betah berlama-lama dari sore hingga malam.

"Kit, kayaknya vendornya pakai yang ini aja nggak, sih, daripada yang lain? Menurut gue yang ini lebih murah, tapi kualitasnya oke banget. Bisa menekan budget kita juga." Aku menunjukkan vendor yang aku maksud lewat layar handphone pada Bangkit. Dia yang mulanya duduk di depanku sambil menikmati santai kentang goreng, beralih menarik kursi di sampingku. Sepertinya supaya lebih bisa melihat dengan jelas.

"Nggak kelihatan, ya?" tanyaku terkekeh.

Dia mengangguk hingga rambut lebatnya bergerak lucu. Namun, sesaat kemudian, Bangkit justru menggeleng. "Nggak, menurut gue nggak, Sa."

Aku mengernyit. "Kenapa nggak?" Padahal, feeling-ku, Bangkit hanya melihat sekilas.

"Saran lo aneh banget, deh. Masa lo pilih vendor konveksi yang kurang terkenal gitu? Oke, emang bagus, tapi kenapa coba harus vendor ini?" Bangkit menunjuk akun calon vendor dan mengutarakan ketidakcocokannya yang justru membuat aku heran. Sebentar, masa seaneh itu menjalin kerja sama dengan vendor yang tidak terkenal? Padahal, seharusnya yang kami utamakan kualitas, bukan sekadar popularitas saja.

"Wait, wait, wait. Kit... justru menurut gue, vendor ini kurang terkenal karena dia vendor baru. Gue yakin kok, lama-lama juga terkenal. Lagi pula, terkenal atau nggak, nggak terlalu ngaruh sama produksi nggak, sih? Yang penting hasil clothing kita bagus. Kualitas nomor satu, Kit."

Bangkit menggeleng, ekspresinya bahkan terlihat tetap tidak senang dengan penjelasanku barusan.

"Kita masih kecil, Sa. Belum juga mulai jualan. Better nggak usah terlalu musingin kualitas, mending kita kasih makan pembeli yang haus tren."

"Kok gitu?" Aku tidak terima dengan pemikiran Bangkit.

"Percuma juga kalau kita nggak mengutamakan kualitas, pembeli hanya datang waktu awal-awal doang, dan nggak akan bertahan lama, Kit. Sementara kualitas bisa mempertahankan pembeli, lho," lanjutku tidak mau kalah.

"Siapa bilang? Masih banyak, kok, pembeli yang beli asal murah dan memenuhi tren, nggak peduli kualitas."

"Tapi, Kit. Kita, kan, nggak harus jadi penjual yang mengabaikan kualitas."

Bangkit menaikkan kedua tangan dan bahunya serempak. "Ya, terserah. Intinya gue kurang setuju. Dan perlu lo highlight, gue udah lebih lama ngerti dunia kayak gini, sedangkan lo baru terjun. Jangan naif pengin punya usaha yang mengedepankan kualitas. So, you better listen to me."

Bicara Bangkit memang tidak panjang, tetapi mendengar yang kali ini membuat mulutku membulat dan kehilangan kata untuk bereaksi. Aku tidak bisa menutupi perasaan terkejut.

Kisah Issa & SangkaraWhere stories live. Discover now