3. LUKA YANG BELUM KERING

477 23 0
                                    

01

Aku masih berdiri dengan pandangan terpaku di depan pintu jati berukiran abstrak yang tidak aku tahu siapa yang mengukirnya. Pintu itu sudah ada sejak aku tahu jika jatuh saat belajar naik sepeda itu sakit. Yah, sekitar sepuluh tahun lalu. Warna putih gading dindingnya yang memudar mengingatkan aku pada sebuah ruangan di mana kejadian itu terjadi. Dan itu, penambah trauma ini. Aku sedang tidak salah alamat, aku memang akan berkunjung ke sini. Hanya... aku tengah mengumpulkan keberanian untuk mengetuk pintu.

Tiba-tiba saja rasa sakit itu semakin membuncah dan menjalar ke rongga dadaku. Perih, sesak. Aku tidak siap jika masalahku semakin bertambah dengan adanya rasa sakit hati ini. Berdiri di sini sama seperti membuka tudung saji penuh luka. Badanku gemetar karena aku masih ingat rasanya rentetan kejadian-kejadian itu. Luka-luka itu. Perasaan putus asa itu. Yang membuatku memutuskan meninggalkan rumah ini. Dan dia... apa masih di sana?

Aku takut jika dia juga ada pada waktu yang sama saat aku datang, tetapi bunda sempat mengabarkan dia tidak ada. Jadi aku beranikan mengetuk pintu karena urusan ini harus segera usai.

Tok... tok... tok...

Belum ada jawaban. Aku kembali mengetuk pintu.

"Sebentar!" Samar-samar aku mendengar jawaban dari dalam yang semakin membuat dada berdebar. Hingga tidak lama suara kunci diputar terdengar sampai kemudian pintu terbuka.

"Eh, Kakak udah sampai." Bunda menyambutku dengan hangat dan rasa haru. Tanpa aba-aba, wanita yang sudah melahirkanku ke dunia itu memelukku sampai aku nyaris tidak bisa bernapas. Sesak, tetapi begitu nyaman.

"Hu'um. Baru aja."

"Ah, bagus, deh," balas Bunda tersenyum. Sepertinya ini adalah senyum termanis yang pernah aku lihat dari Bunda.

"Ya udah. Ayo, masuk, masuk."

Bunda tidak hanya menyuruhku masuk, tetapi juga memelukku dari samping untuk menuntunku memasuki rumah dan duduk di sofa ruang tamu. Aroma masakan yang aku kenal langsung tercium pekat.

"Bunda masak?" Aku mencoba memberanikan diri bertanya. Aku sedikit tidak yakin karena sebelum-sebelumnya, menghabiskan waktu di dapur bukan rutinitas Bunda. Subuh-subuh dia sudah tidak ada di rumah, aku bahkan bisa menghitung berapa kali Bunda memasak untukku dan adikku.

"Iya. Bunda masak. Masak enak hari ini. Ayam goreng kesukaan kamu sama tongkol daun melinjo, lho."

Wah, ternyata benar.

"Mau makan dulu?" Bunda menunjuk ke belakang, ada ruang makan di sana.

"Belum mau. Masih kenyang," jawabku.

Senyum yang tadinya begitu cerah lambat laut sedikit muram.

"Ah, nggak apa-apa. Bunda juga masih mau ngobrol sama Kakak. Oh ya, bentar, Bunda ambil teh dulu," katanya.

Aku belum menjawab dan Bunda sudah beranjak lebih dulu. Bunda mengambilkan secangkir teh varian kesukaanku. Teh bagiku seperti candu, yang tidak pernah aku lupakan. Keheningan tidak menyelimuti kami walau pertemuan seperti ini jarang terjadi. Bunda banyak bertanya karena aku tahu Bunda pasti menantikan hari ini tiba.

"Kamu gimana selama nggak tinggal sama, Bunda?"

"Nggak gimana-gimana. Seneng aja tinggal sama Nenek dan Tante. Nyaman juga." Kehidupan finansialku bersama Nenek dan Tante mungkin tidak sebaik bersama Bunda, tetapi aku selalu merasa cukup. Namun, sepertinya bukan jawaban itu yang ingin Bunda dengar. Pancar matanya terlihat tidak senang.

"Kamu nggak mau pulang dan tinggal di sini lagi aja, Kak? Sama Bunda gitu."

Teh yang tadinya terasa nikmat, tiba-tiba berubah jadi tidak enak. Aku diam mendengar pertanyaan Bunda yang menatapku lekat, ingin sekali aku jawab iya, tetapi sulit sekali kalau seandainya hal itu terjadi.

Kisah Issa & SangkaraWhere stories live. Discover now