Chapter 01 🕊

583 10 0
                                    

Rumah sakit itu dipenuhi oleh pasien yang sedang menunggu giliran untuk bertemu dokter. Beberapa orang terlihat lalu-lalang entah untuk menjenguk seseorang yang sedang dirawat ataupun petugas rumah sakit yang sibuk dengan tugasnya.
Di antara banyaknya pasien itu, Khaylila duduk dengan tenang di depan ruangan bertuliskan ‘Poli Syaraf’. Beberapa orang masih menganggap bahwa mereka yang berobat syaraf adalah orang-orang yang jiwanya terganggu. Padahal penyakit syaraf dan jiwa sangat jauh perbedaannya. Seperti Khaylila saat ini yang ingin mengobati tangan kanannya yang sakit dan didiagnosa terkena CTS (Carpal Tunnel Syndrome). Sebuah penyakit yang membuatnya sulit beraktifitas menggunakan tangan kanannya karena kekuatannya berkurang drastis.
“Adek, baru pertama kali berobat di sini, ya?” tanya seorang wanita paruh baya pada Khaylila.
Gadis itu tersenyum, mencoba untuk bersikap ramah, “Iya, Bu. Saya baru pindah dari dokter rumah sakit lain.”
“Kenapa pindah?”
“Rumah sakit yang sebelumnya terlalu jauh dari rumah saya, Bu. Jadwal dokternya juga sore, jadi setiap berobat saya harus pulang malam. Bikin ibu saya khawatir,” jawab Khaylila masih dengan senyumnya.
“Iya, ya. Kalo pulang malam-malam bikin ketar-ketir juga. Banyak orang jahat sekarang ini,” ucap sang wanita paruh baya. “Adek sakitnya apa?”
“CTS, Bu. Di tangan kanan,” ucap Khaylila. Saat melihat kebingungan di wajah lawan bicaranya, Khaylila melanjutkan, “Lebih dikenal dengan syaraf terjepit, Bu.”
“Oh.. Memang banyak yang kena syaraf terjepit di sini. Ibu gak tau kalo namanya CTS.”
“Hehehe… Iya, Bu.” Syifa mengusap tangannya yang terasa sakit sejenak. “Kalo Ibu sakit apa?”
“Kaki Ibu ini sakit,” wanita paruh baya itu menyentuh betisnya. “Udah hampir setahun Ibu berobat sama Dokter Anung ini.”
“Sudah setahun belum sembuh juga?”
“Kalo minum obat ya kurang sakitnya, tapi kalo gak minum obat langsung kambuh lagi.”
Khaylila mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu memilih untuk kembali diam tidak melanjutkan obrolan. Wanita paruh baya itu tampak mengamatinya sejenak.
“Ibu lihat-lihat, Adek ini pendiam banget, ya. Daritadi duduk di sini gak ngomong sama siapa-siapa,” ucapnya.
“Saya emang jarang ngobrol, Bu. Kalo gak diajak duluan ya saya diam aja. Saya tipe orang sulit memulai obrolan,” Jawab Khaylila.
“Jangan begitu, Dek. Ngobrol sama orang lain itu bisa ngurangin stres loh. Penyakit kita ini juga salah satu sebabnya ya stres. Kalo bisa dikurangin kan lebih baik.”
“Iya, Bu.”
“Kalo kita stres, mau minum obat sebanyak apapun gak akan berpengaruh, Dek. Percuma berobat rutin kalo dari dalam diri kita gak mau berusaha buat sembuh,” ucap wanita paruh baya itu lagi.
Dalam hati, Khaylila membenarkan ucapan wanita yang tidak dikenalnya itu. Pikirannya yang sering kusut menjadi salah satu penyebab sakitnya tak kunjung membaik.
Khaylila terlahir dari keluarga yang cukup berada. Tapi itu tidak membuatnya lantas bahagia. Orangtuanya memberikan tekanan yang terlalu berlebihan padanya. Di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, Khaylila selalu didesak untuk segera menikah. Dia terus saja dibanding-bandingkan dengan adiknya yang 5 tahun lebih muda darinya dan sudah menikah 2 tahun yang lalu. Pada setiap acara keluarga, Khaylila tidak pernah diajak seolah dia adalah aib di keluarga mereka karena memiliki gelar ‘perawan tua’.
Khaylila tidak ingin menikah. Itu hal yang tidak pernah diketahui oleh keluarganya. Bagi Khaylila, menikah adalah sebuah penjara lain yang sama seperti yang dibuat oleh orangtuanya. Sejak lahir hingga usia 30 tahun, Khaylila selalu dikekang dan tidak diberikan kebebasan. Hidupnya dipenuhi aturan-aturan untuk menjaga nama baik ayah dan ibunya. Lalu, jika dia menikah, dia memang akan terlepas dari orangtuanya, tetapi akan terperangkap lagi dalam dunia suaminya. Akan ada banyak peraturan yang harus dipatuhi.
Khaylila hanya ingin bebas tanpa harus menjaga nama baik siapapun, baik itu orangtua ataupun suami.

****

Satu minggu berlalu dan Khaylila kembali ke rumah sakit untuk kontrol. Gadis itu kembali duduk di tempat yang sama seperti sebelumnya, memperhatikan keadaan sekitarnya tanpa suara.
Wanita paruh baya yang mengajaknya mengobrol minggu lalu tampak mendekatinya. Khaylila mengetahui namanya saat wanita itu dipanggil oleh perawat. Nama wanita paruh baya itu adalah Dina.
“Dek, ketemu lagi kita,” ucap Ibu Dina berbasa-basi.
“Iya, Bu. Gimana kabarnya?” tanya Khaylila.
“Yah, masih begini-begini aja,” jawab Ibu Dina.
Khaylila kembali diam. Tidak memiliki topik untuk dibicarakan lagi. Sementara Ibu Dina tampak tertarik padanya, membuka obrolan lagi. “Adek umurnya berapa?”
“Saya 30 tahun, Bu. Nama saya Khaylila, Bu. Ibu bisa panggil saya Lila.”
“Lila anak tunggal, ya? Dari cara bicaranya kayanya Lila dimanja banget sama keluarganya,” tebak Ibu Dina.
“Nggak kok, Bu. Saya punya adik, tapi dia udah nikah dan tinggal sama suaminya. Jadi sekarang ya saya sendiri di rumah sama orangtua saya.”
“Oh, Lila belum menikah?”
“Belum, Bu. Belum nemu,” jawab Khaylila diakhiri dengan kekehan pelan. Khaylila tidak ingin membahas dirinya lagi, jadi dia mengubah topik pembicaraan agar tidak terfokus padanya. “Ibu Dina anaknya berapa?”
“Anak Ibu dua juga. Yang sulung laki-laki, namanya Rendra. Yang bungsu perempuan, namanya Hani. Si Hani udah nikah juga,” jawab Ibu Dina. “Tinggal Rendra tuh yang gak ada tanda-tanda mau nikah. Punya pacar aja gak pernah.”
“Emang usianya berapa, Bu?”
“Udah 26 tahun tapi belum pernah ngenalin cewek manapun sama Ibu.”
“Ah, masih 26, Bu. Masih muda,” ucap Khaylila.
“Iya, sih. Tapi kan Ibu juga pengin lihat Rendra punya cewek,” Ibu Dina tampak merenung sejenak lalu menghembuskan napasnya panjang.
“Kenapa, Bu?”
“Rendra itu.. Bakal dapat istri yang gimana, ya? Bisa gak ngurus dia kaya Ibu ngurusin dia. Setiap hari Ibu bangunin dia, nyiapin pakaiannya, dompetnya, isi tasnya, sepatunya, sampe kendaraannya. Sarapannya selalu Ibu bikinin kesukaan dia, terus Ibu taruh di kamarnya biar dia nyaman makannya. Sebelum berangkat Ibu cium dulu baru boleh pergi kerja. Gitu terus tiap hari.”
Khaylila terkekeh pelan. “Ibu sayang banget sama anaknya.”
“Iya. Walaupun udah gede begitu, sayangnya Ibu sama Rendra gak pernah berubah sedikitpun. Kalo bisa Ibu bawa kemana-mana dia itu. Tetangga-tetangga Ibu aja sampe heran liat Ibu manjain anak Ibu sampe sebegitunya.”
“Kerja dimana dia, Bu?”
“Rendra kerja di perusahaan advertising. Yah, gajinya gak seberapa tapi cukuplah untuk hidupnya.”
Mereka ingin melanjutkan obrolan namun nama Khaylila sudah dipanggil oleh perawat untuk segera bertemu Dokter. Khaylila berpamitan pada Ibu Dina yang dijawab dengan senyuman dan anggukan ramah.
****
Khaylila memasuki rumahnya tanpa suara seperti biasa. Tapi langkahnya berhenti saat melihat kedua orangtuanya sedang mengobrol dengan adiknya yang berkunjung bersama suami dan anaknya. Khaylila mendekati mereka dan duduk di sebelah Khanza, satu-satunya saudara yang dia miliki.
“Kok baru pulang, Kak?” tanya Khanza yang sedang memangku putrinya yang baru berusia 4 bulan.
“Iya, nunggu obatnya lama,” jawab Khaylila. “Sini Queen, sama tante.” Dengan cekatan tangannya mengambil alih keponakannya itu.
“La, bulan depan Bude Ranti mau mantu anaknya yang bungsu, si Fajar. Kamu disuruh dateng juga,” ucap Ibunya membuka percakapan yang paling dibenci oleh Khaylila.

EleftheriaWhere stories live. Discover now