Chapter 03 🕊

166 8 0
                                    

“Dek, Rendra bilang dia salam sama Adek,” ucap Ibu Dina saat mereka bertemu kembali.
“Bisa aja si Ibu,” jawab Khaylila. “Salamin balik ya, Bu.”
“Ibu kirain dia cuek sama Dek Lila, ternyata diam-diam malah merhatiin,” ujar Ibu Dina. “Rendra juga nanyain nama Adek, Ibu jawab aja biasanya dipanggil Adek.”
“Terus gimana, Bu?”
“Rendranya malah bingung. ‘Masa Rendra manggil Adek juga, Ma? Gak enaklah,’ begitu katanya.”
“Saya dipanggil apa aja juga boleh kok, Bu. Cuma panggilan ini,” jawab Khaylila.
“Jadi gimana, Dek? Mau gak sama Rendra? Dia emang pemalu begitu tapi dia baik kok.”
“Saya sih gak ada masalah, Bu. Rendranya aja yang mau apa gak sama saya?” ucap Khaylila bercanda.
“Dia kelihatannya tertarik sama Dek Lila. Kalian jalan aja dulu berdua. Gimana?” tawar Ibu Dina.
Khaylila terdiam sesaat. Teringat kembali perdebatannya dengan kedua orang tuanya semalam. Ibu dan Ayahnya kembali memaksanya untuk membawa seseorang pada saat acara pernikahan Fajar yang akan diselenggarakan minggu depan. Tiba-tiba sebuah ide muncul begitu saja di pikirannya. Akhirnya dia memiliki solusi atas semua masalahnya sekaligus. Dan solusi itu bernama Rendra.
“Boleh, Bu. Malam ini gimana? Anak Ibu ada waktu gak?”
“Eh? Malam ini?”
“Iya, Bu. Saya ada waktunya malam ini. Rendra gak bisa ya, Bu?”
“Bentar ya, Ibu tanyain dulu anaknya,” jawab Ibu Dina seraya mengambil ponsel dan menghubungi anaknya.
****
Khaylila duduk di sebuah restoran dengan sikap tenangnya. Sudah 5 menit dia menunggu kehadiran seseorang yang tadi siang mengiyakan permintaan Ibunya untuk makan malam dengan Khaylila.
“Hai.. Udah lama?”
Khaylila mengangkat kepalanya demi melihat sosok lelaki yang baru saja tiba itu. Dia langsung duduk di hadapan Khaylila setelah menyapanya singkat.
“Baru 5 menit saya di sini,” jawab Khaylila.
“Sorry saya telat. Kerjaan saya agak banyak sore ini,” ucap Rendra memberi alasan.
Khaylila tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “It’s okay. Saya punya banyak waktu.”
Gadis itu mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan yang langsung datang saat itu juga. Pelayan itu menyerahkan dua buku menu masing-masing untuk Khaylila dan Rendra.
Keduanya menyebutkan pesanan mereka yang segera dicatat oleh pelayan. Setelah selesai, sang pelayan undur diri dan meminta mereka menunggu pesanan datang dengan sopan.
“Saya kira kamu gak bakal datang,” ucap Khaylila membuka pembicaraan.
“Kalo saya gak datang, Ibu saya gak bakal berhenti ngomel. Dia selalu ngomongin kamu kalo di rumah,” jawab Rendra.
Khaylila tersenyum kecil. “Saya punya penawaran menarik buat kamu, Rendra.”
Rendra mengernyitkan dahinya. “Penawaran? Jangan bilang kalo kamu tertarik dengan ucapan Ibu saya yang mau ngejodohin kita.”
“Kurang lebih begitu. Tapi dengan keuntungan yang lebih besar.”
“Keuntungan? Kamu mau main-main dengan pernikahan?” ucap Rendra. “Maaf sebelumnya, tapi saya tidak tertarik untuk menikah dengan kamu.”
Pesanan mereka datang dan menginterupsi obrolan yang hampir memanas. Khaylila mengucapkan terima kasih pada pelayan dan mulai memakan makanannya.
“Dimakan dulu, Ren,” ucap Khaylila.
Rendra tidak menyentuh makanannya. Dia memandang Khaylila dengan kerutan heran di wajahnya. “Jelasin apa maksud kamu tadi.”
Khaylila menyeruput minumannya dan bersandar di tempat duduknya. Matanya menatap Rendra. “Saya mau menikahi kamu dengan beberapa persyaratan.”
Rendra menyipitkan matanya dan tersenyum remeh. “Excuse me. Saya tahu maksud kamu apa. Tapi ini bukan cerita di drama ataupun novel yang bisa dengan mudah menikah kontrak. Ini dunia nyata, Khaylila.”
Khaylila menganggukkan kepalanya. “Saya tahu. Tapi saya sudah berniat untuk tidak menikah seumur hidup saya. Saya tidak mau terjebak dalam peraturan yang harus saya hadapi setelah menjadi seorang istri.”
“Lalu kenapa kamu malah mau menikah dengan saya?”
“Secara teknis memang kita akan menikah, tapi pada kenyataannya tidak. Kita hanya akan menjadi dua orang yang kebetulan saling mengenal. Teman, mungkin?”
“Kamu mau membohongi Ibu saya? Apa untungnya bagi kamu ngelakuin ini semua, Khaylila?”
“Saya ingin terbebas dari orang tua saya. Dan saya tahu kamu juga menginginkan hal yang sama,” jawab Khaylila. “Seperti yang sudah saya bilang di awal, pernikahan ini adalah sebuah penawaran menarik untuk kamu. Kita sama-sama mendapat keuntungan yang besar di sini.”
“Keuntungan seperti apa yang bisa kamu tawarkan?” tantang Rendra.
“Kamu akan terbebas dari Ibu kamu yang terus memaksa kamu membawa seorang wanita padanya. Ibu kamu adalah orang yang membuat saya nyaman bicara dengannya, saya tidak mau membuat dia terus stres memikirkan anak lelakinya yang tidak kunjung punya pacar. Stres bisa menambah penyakitnya,” ucap Khaylila.
“Jangan jadikan Ibu saya sebagai alasan,” ujar Rendra.
“Tapi memang Ibu kamu menjadi salah satu alasan untuk saya mau menikah dengan kamu, Rendra. Saya hanya ingin melihat dia kembali sehat.” Khaylila kembali meneguk minumannya. “Lagipula Ibu kamu suka sekali sama saya.”
Rendra tidak dapat mengelak pernyataan terakhir Khaylila karena memang benar Ibunya sangat memuja gadis ini. Lelaki itu menarik napasnya sebentar sebelum melanjutkan, “Lalu persyaratan apa yang kamu inginkan?”
“Kamu hanya perlu berpura-pura cinta sama saya di depan keluarga saya dan keluarga kamu. Kita akan menjadi pasangan yang sempurna di mata mereka.”
“Cuma itu?”
“Urusan lainnya bisa kita bicarakan nanti kalau kamu sudah setuju.”
“Kalau saya tetap menolak bagaimana? Apapun alasannya kamu tetap ingin menipu Ibu saya.”
“Kamu tidak bisa menolak saya, Rendra.”
“Darimana datangnya kepercayaan diri kamu ini?”
Khaylila mengeluarkan selembar foto dari dalam tasnya dan menyerahkan pada Rendra. Foto yang didapatnya dari Samuel. Seketika wajah lelaki itu memucat. Di foto itu terpampang jelas dirinya bersama seseorang.
“Ka.. Kamu.. dapat foto ini dari siapa?” tanya Rendra gugup.
“Saya tahu kamu Rendra. Saya tahu rahasia yang kamu simpan rapat-rapat ini,” ucap Khaylila tanpa menjawab pertanyaan Rendra.
“Kamu…” Rendra seperti kehilangan perbendaharaan kata-katanya.
“Saya akan tetap tutup mulut selama kamu mau menikah dengan saya. Lagipula saya bisa jadi tameng yang baik buat kamu menutupi rahasia ini, kan? Tidak akan ada orang yang curiga. Saya juga tidak akan mengganggu hubungan kamu dengan dia. Kamu bebas melakukan apa saja selama kamu berhati-hati di depan keluarga kita,” ucap Khaylila.
Rendra masih diam di tempatnya. Khaylila mengambil tasnya dan bersiap untuk pergi. “Kalau kamu tertarik dengan tawaran saya, temui saya di tempat ini 3 hari lagi pada jam yang sama seperti hari ini.”
Khaylila berdiri dari tempat duduknya dan tersenyum pada Rendra yang memandangnya dengan berbagai emosi di matanya. “Makanan hari ini saya yang traktir. Saya pulang dulu.”
****
“Ren, gimana? Udah ketemu kan sama si adek?” tanya Ibu Dina saat Rendra pulang.
“Udah, ma,” jawab Rendra pendek.
“Terus?”
“Terus apanya, ma?”
“Cocok, gak?”
“Masih nyambung lah Ma kalo ngobrol.”
Ibu Dina tersenyum lebar mendengar ucapan anaknya. Sebuah pertanda baik mendengar tidak ada keluhan dari Rendra. Sepertinya keinginannya untuk memiliki seorang menantu akan segera terwujud.

EleftheriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang