Chapter 22 🕊

83 6 0
                                    

Rendra memasukkan koper milik Khaylila ke bagasi mobilnya. Lelaki itu kemudian membuka pintu kemudi dan duduk di balik setirnya tepat di sebelah Khaylila yang sudah lebih dulu masuk. Gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya. Mungkin sedang menghubungi Erika untuk langsung menemuinya di bandara saja.
“Ada yang ketinggalan?” tanya Rendra sebelum melajukan mobilnya.
“Gak ada. Semua udah masuk.”
“Oke. Kita berangkat.”
Mobil Rendra melaju menuju bandara. Cuaca yang cerah pagi itu membuat moodnya tampak bagus. Sesekali dia bersenandung mengikuti musik yang sedang diputar lewat audio mobilnya. Playlist yang dibuat oleh pacarnya itu tidak pernah membuatnya bosan meski sudah diulang berkali-kali.
Rendra melirik Khaylila sekilas dan menyadari sesuatu dari gadis itu. “Kamu gak bawa jaket, Khaylila?”
Khaylila menggelengkan kepalanya. “Lupa,” jawabnya pendek.
“Ini tidak seperti Khaylila yang saya kenal,” ucap Rendra.
Bukan tanpa sebab Rendra berkata seperti itu karena Khaylila termasuk orang yang perfeksionis. Semua harus diatur secara detail oleh gadis itu dan tidak pernah ada yang terlupa sedikitpun. Tapi kali ini dia lupa membawa jaketnya. Hal yang tidak pernah dilakukan Khaylila ketika bepergian.
“Jaketnya sudah saya siapkan, tapi tidak terbawa. Saya baru ingat saat kita sudah mulai jalan,” ucap Khaylila.
“Kenapa gak bilang tadi? Kita masih bisa putar arah. Sekarang udah di tol, susah mau balik lagi.”
“Gak papa, Rendra. Bukan masalah besar.”
“Kenapa bisa lupa? Kamu lagi banyak pikiran?” tanya Rendra.
“Sedikit. Mungkin stres karena tulisan saya yang ini lebih rumit dari yang biasanya,” jawab Khaylila. Matanya beralih melihat pemandangan jalanan di luar.
“Are you okay?” Rendra mengusap kepala Khaylila dengan sebelah tangannya yang bebas.
Khaylila hanya diam saja. Pikirannya sedang berkelana jauh. Pertanyaan dari Rendra tidak didengarnya sama sekali. Khaylila sedang membayangkan sebuah masa depan yang indah dan tenang bersama lelaki di sampingnya ini. Rasa ingin memiliki mulai tumbuh begitu saja di hatinya meski Khaylila tahu dia tidak mungkin memiliki kesempatan untuk mendapatkan Rendra.
Perjalanan riset yang dikatakan oleh Khaylila sebenarnya hanya sebuah kebohongan. Gadis itu tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Khaylila hanya ingin menjauh sebentar dari Rendra. Dia ingin mengambil napas sejenak dari rasa sesak setiap kali melihat Rendra bersama kekasihnya. Khaylila ingin mengembalikan kewarasannya agar bisa bersikap seperti biasa di depan Rendra setelah dia pulang nanti.
“Khaylila! Khaylila!”
Khaylila tersadar dari lamunannya mendengar suara Rendra yang memanggilnya. Segera saja dia menoleh ke arah suaminya itu.
“Kamu kenapa? Saya panggil-panggil dari tadi.” Rendra tidak dapat menyembunyikan nada khawatir di suaranya.
“Hah?” Khaylila tampak bingung dengan pertanyaan Rendra.
“Are you really okay, Khaylila? Kamu beneran bisa pergi hari ini? Kalo gak, ditunda dulu deh.”
“Saya baik-baik aja, Rendra. Saya gak kenapa-napa, kok.”
“Tapi kamu gak kelihatan begitu. Kamu terlalu aneh hari ini.”
Khaylila memaksakan sebuah senyuman pada Rendra. “Saya cuma sedang ada sesuatu yang dipikirkan, Rendra. Kamu tidak perlu sekhawatir itu.”
Rendra masih tidak yakin dengan jawaban Khaylila. Mobilnya yang sudah memasuki area parkir bandara diparkirkan di salah satu tempat yang kosong. Mereka tidak langsung keluar karena Rendra masih mengunci mobilnya.
“Rendra,” ucap Khaylila.
“Kamu yakin mau tetap pergi?” tanya Rendra. “Jujur saja saya khawatir sama keadaan kamu, Khaylila.”
Khaylila menatap mata bening itu. Jika bisa, dia akan mengatakan pada Rendra untuk berhenti mengkhawatirkannya karena itu akan semakin menyakitinya. Perhatian-perhatian dari lelaki itu membuatnya terus berharap pada sesuatu yang tidak mungkin dia dapatkan.
“Saya harus pergi sekarang, Rendra,” ucap Khaylila.
Rendra menghembuskan napasnya berat dan membuka kunci pintu mobilnya. Khaylila segera keluar dari sana sambil memegangi dadanya yang terasa sesak. Ditepuk-tepuknya sebentar dadanya sebelum bersikap seperti biasa kembali karena Rendra sudah berjalan ke arahnya.
“Kamu pake ini.” Rendra menyerahkan jaketnya pada Khaylila. “Jangan sampe kedinginan.”
Khaylila ingin menolak, tapi tatapan Rendra padanya membuat gadis itu mengambil jaket hitam pemberiannya. “Terima kasih,” ucapnya.
“Erika mana?” tanya Rendra.
“Sudah di dalam,” jawab Khaylila yang tentu saja berbohong. Erika tidak ada dimana-mana. Editornya itu sedang berada di kantor mengurusi pekerjaannya.
“Baik-baik di sana, Khaylila. Kalau ada apa-apa segera hubungi saya. Kapanpun kamu butuh saya, saya akan langsung menemui kamu,” pesan Rendra. Tangannya lagi-lagi mengusap pelan kepala Khaylila.
“Jangan terus memberi saya harapan, Rendra. Ini menyakitkan,” ucap Khaylila dalam hati.
Gadis itu tersenyum pada Rendra dan menganggukkan kepalanya. “Saya pergi dulu.”
****
Lima hari setelah Khaylila ke luar kota, Rendra masih belum tahu kabar istrinya itu. Pasalnya, Khaylila sama sekali tidak menghubunginya. Hanya satu kali saat dia mengatakan bahwa dia sudah sampai dan setelah itu tidak ada telepon ataupun chat dari Khaylila.
Sebenarnya Rendra tidak mempermasalahkannya karena itu adalah hak Khaylila untuk pergi kemanapun dia mau. Hanya saja Rendra khawatir dengan keadaan gadis itu yang tampak kurang baik saat terakhir mereka bertemu. Tapi Rendra juga tidak memiliki keberanian untuk menghubungi Khaylila terlebih dulu karena takut mengganggu. Bagaimanapun, Khaylila pergi untuk pekerjaannya. Dia pasti sedang sibuk dan tidak ingin diganggu.
“Rendra.”
Rendra yang baru saja sampai di apartemennya setelah dari kantor mendongak saat mendengar seseorang memanggilnya. Lelaki itu sedikit terkejut melihat Ibu mertuanya berdiri di depan pintu apartemennya.
“Mama,” ucap Rendra yang bergegas menghampiri Ibu Ratna.
“Ren, Lila mana sih? Mama udah pencet-pencet bel dari tadi tapi gak ada yang bukain pintu! Ditelepon juga gak aktif. Kemana anak itu?!” omel Ibu Ratna yang tampak jengkel.
Rendra membuka pintu apartemennya dengan tenang. “Masuk dulu, ma. Khaylila gak di rumah. Dia lagi ke luar kota sama temen-temennya.”
“Astaga, anak itu! Bisa-bisanya ninggalin suaminya sendirian begini. Memang dasar kurang ajar itu anak,” Ibu Ratna masih setia dengan omelannya.
Rendra meletakkan segelas jus di atas meja untuk Ibu Ratna yang sudah duduk di sofa. Lelaki itu tersenyum pada Ibu mertuanya. “Gak papa, ma. Khaylila perlu liburan bareng temennya sekali-sekali. Kasihan dia kalo di rumah terus. Dia butuh waktu untuk refreshing biar gak stres.”
“Ya tapi kan dia sudah punya suami. Gak baik pergi jauh tanpa pendamping begitu.”
“Suaminya ini sudah kasih izin, ma. Saya juga maunya mendampingi, tapi waktu saya sudah habis buat kerja.”
Ibu Ratna menghela napasnya pasrah. Menantunya ini memang terlihat sangat menyayangi anaknya, membuat Ibu Ratna tidak bisa berkomentar lagi.
“Mama ada apa mau ketemu Khaylila?” tanya Rendra.
“Mama mau ngingetin dia buat dateng ke acara ulang tahun perusahaan papa. Dia itu jarang banget mau dateng. Nah sekarang karena udah punya kamu, ya sekalian papa mau ngenalin kamu ke orang kantor sama partner-partner bisnis papa. Tahun ini kalian harus dateng,” jawab Ibu Ratna.
“Acaranya kapan, ma?”
“Minggu depan. Hari sabtu. Kamu bilangin ke Lila ya, Ren. Jangan sampe gak dateng. Nanti papa marah.”
“Iya, ma. Nanti saya kasih tau Khaylila.”

EleftheriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang