Chapter 12 🕊

117 5 0
                                    

Rendra membalikkan tubuhnya dan mendapati Khaylila yang memegang ujung bedcover yang dipenuhi bunga mawar khas tempat tidur pengantin baru. Lelaki itu bergegas memegang ujung lainnya dan mereka bersama-sama mengangkat bedcover untuk membuang kelopak mawar yang bertebaran di atasnya ke dalam tong sampah.
“Nah, sudah selesai. Nanti kamu bisa langsung tidur sesudah mandi,” ucap Khaylila.
Rendra hanya menganggukkan kepalanya dan kemudian masuk ke kamar mandi. Seluruh tubuhnya sudah menjerit meminta istirahat.
Sementara Khaylila duduk di depan meja rias dan mulai membersihkan make-up di wajahnya. Butuh waktu yang cukup lama sampai wajahnya benar-benar bersih dari semua produk yang menempel di kulitnya itu.
“Saya tidur dulu, Khaylila,” ucap Rendra.
Khaylila sedikit terkejut mendengarnya. Pasalnya, dia tidak mengira Rendra akan mandi secepat itu. Atau dia yang sudah terlalu lama berkutat dengan wajahnya sendiri? Entahlah. Yang jelas Khaylila hanya menanggapi Rendra dengan gumaman seadanya.
Setelahnya, Khaylila masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Pancuran air hangat membuat otot-ototnya yang lelah menjadi lebih rileks. Rasanya gadis itu ingin tidur di kamar mandi saja dengan diguyur air hangat karena terasa sangat nyaman. Tapi Khaylila masih sadar bahwa hal itu bisa membuatnya masuk angin dan sakit. Jadi, dengan sedikit bergegas dia menyelesaikan mandinya agar bisa menyusul Rendra masuk ke alam mimpi.
Khaylila membaringkan tubuh lelahnya di sebelah Rendra. Tidak ada rasa canggung sama sekali di antara mereka berdua karena baik Rendra maupun Khaylila menganggap satu sama lain sebagai teman, tidak lebih dan tidak kurang.
“Jangan macam-macam sama saya, Khaylila. Atau saya tuntut kamu ke pengadilan,” ucap Rendra dengan mata terpejam dan suara yang serak.
Khaylila mendengus lucu mendengarnya. “Bukankah itu seharusnya menjadi dialog saya, Rendra?”
“Benar. Saya cuma gak mau keduluan aja,” balas Rendra yang kemudian membalikkan tubuhnya memunggungi Khaylila.
Khaylila tertawa pelan kemudian ikut memunggungi Rendra. “Goodnight, Rendra.”
“Goodnight, Khaylila.”
****
Khaylila membuka matanya dan melihat jam di ponselnya. Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Khaylila menoleh ke sampingnya dan mendapati Rendra yang masih terpejam. Sepertinya mereka berdua tidur terlalu lama karena kelelahan.
“Rendra, kamu gak mau bangun?” tanya Khaylila.
“Hmm..” gumam Rendra yang tidak bergerak sama sekali.
“Sudah jam 11. Mau makan?” tanya Khaylila lagi.
“Hmm..”
“Gimana caranya kita keluar tanpa ditanya sama keluarga? Ini sudah terlalu terlambat untuk menampakkan diri.”
“Hmm..”
“Rendra.”
“Hmm..”
“Kamu gak punya kata-kata lain selain hmm?”
“Hmm..”
Tanggapan Rendra malah membuat Khaylila tertawa. Entah kenapa dia merasa lucu. Pertama kali dalam hidupnya tidur bersama dengan seorang lelaki dan ini yang dia dapatkan saat bangun dari tidurnya. Tidak ada satupun novel yang pernah dibacanya mengisahkan pasangan pengantin yang mengawali pagi pertama pernikahan mereka seperti ini. Semua fantasi Khaylila tentang pernikahan sudah dirusak oleh seorang Rendra dan itu benar-benar membuatnya terhibur.
“Kenapa ketawa? Kamu belum gila kan, Khaylila?” tanya Rendra yang mendengar tawa Khaylila.
“Oh! Akhirnya kamu punya punya kosakata lain,” ucap Khaylila yang masih tertawa.
“Jangan gila dulu, Khaylila. Saya gak mau punya istri penghuni rumah sakit jiwa.”
Khaylila masih berusaha meredam tawanya. Setelah bisa mengendalikan diri, gadis itu bertanya lagi pada Rendra, “Masih mau tidur? Ini sudah masuk jam makan siang.”
“Sudah sesiang itu?” Rendra mengambil ponselnya untuk memastikan.
“Mau bilang apa nanti kalau ditanya sama yang lain?” Khaylila menanyakan lagi pertanyaan yang sudah dia tanyakan tadi.
“Bilang aja semalem lembur,” jawab Rendra cuek. Dia masih sibuk dengan ponselnya, membalas pesan dari teman-temannya yang mengucapkan selamat atas pernikahan mereka.
“Emangnya kerja pake lembur segala?”
Rendra menghentikan gerakan jemarinya dan menoleh pada Khaylila. “Kamu gak ngerti, Khaylila?”
“Apaan?” tanya Khaylila bingung.
“Dasar sok polos. Mandi sana biar otak kamu bisa mulai loading. Jangan lupa keramas,” ucap Rendra.
Khaylila bangkit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Baru separuh jalan, gadis itu berbalik menghadap Rendra seolah menyadari sesuatu. Rendra yang menyadari perubahan ekspresi Khaylila memamerkan cengirannya.
“Sudah paham, Khaylila?”
Khaylila melemparkan sandalnya ke arah Rendra. “Jangan pernah bilang begitu ke keluarga saya, Rendra. Mereka itu mulutnya gak ada rem.”
“Kalo saya gak bilang begitu, nanti mereka malah ngatain saya gak jago, dong. Saya kan harus menjaga image saya di hadapan mereka,” balas Rendra yang kini gantian tertawa.
“Saya bilang jangan ya jangan. Awas aja kamu,” ucap Khaylila sebelum masuk ke kamar mandi.
****
“Sudah siap semua?” tanya Ibu Khaylila pada anak dan menantu barunya.
“Sudah, Ma. Tinggal berangkat aja,” jawab Khaylila.
Mereka berdua dijadwalkan akan berangkat bulan madu ke Bali pada malam harinya. Sebenarnya Ayah Khaylila menawarkan pada mereka untuk bulan madu ke London atau Paris, tapi Khaylila menolak dengan alasan cuti kerja yang Rendra miliki hanya lima hari termasuk hari pernikahan. Waktu yang tersisa hanya tiga hari untuk bulan madu dan pilihan yang tepat hanya Bali.
“Kenapa gak ambil cuti lebih banyak sih, Ren? Kan bisa sekalian refreshing,” tanya Ibu Dina.
“Gak bisa, Ma. Itu udah termasuk cuti tahunan. Kalo ambil lebih lagi bisa-bisa Rendra dipecat,” jawab Rendra.
“Kalo dipecat ya kerja di kantor Papa lah, Ren. Papa juga kan butuh penerus,” ucap Ayah Khaylila.
“Kan ada Arka, Pa. Rendra masih betah dengan kerjaan yang sekarang,” ucap Rendra.
“Udah. Udah. Kenapa malah ngomongin kerjaan sih? Ini sudah mepet waktunya. Ntar ketinggalan pesawat loh,” ucap Ibu Khaylila.
Rendra memasukkan dua buah koper miliknya dan Khaylila ke dalam mobil yang akan membawa mereka ke bandara. Setelah itu keduanya berpamitan pada keluarga sebelum benar-benar pergi untuk bulan madu.
Khaylila dan Rendra tiba di bandara tepat waktu. Mereka langsung masuk ke dalam pesawat yang sudah boarding. Khaylila membuka notebook-nya dan mulai mengetik untuk karyanya yang selanjutnya. Sementara Rendra tampak sibuk dengan ponselnya.
“Dia jadi ikut?” tanya Khaylila tiba-tiba.
“Hmm. Malahan dia sudah sampai di sana dari tadi siang,” jawab Rendra.
Ya, yang ditanyakan Khaylila adalah pacar Rendra. Khaylila mengajaknya untuk ikut liburan bersama mereka selama tiga hari ke depan untuk menemani Rendra karena Khaylila sendiri sudah memiliki jadwal untuk menyelesaikan bukunya selama di Bali. Gadis itu tidak akan memiliki waktu untuk bersenang-senang selama di sana.
Pacar Rendra tentu saja menerima tawaran itu dengan senang hati. Orang itu bahkan sudah membeli tiket dan berangkat terlebih dahulu saking semangatnya. Khaylila memberitahukan hotel tempat mereka menginap dan nomor kamarnya agar pacar Rendra bisa memesan kamar yang berdekatan. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan untuk keluarga mereka. Khaylila hanya khawatir Ayahnya mengirimkan seseorang untuk memata-matainya selama berada di Bali.
“Sudah pesan kamar?” tanya Khaylila lagi.
“Dua kamar dari kamar kita,” jawab Rendra. “Kamu gak akan terganggu dengan kami.”
“Bagus kalau begitu,” ucap Khaylila dan kemudian melanjutkan kegiatannya mengetik. Rendra pun tidak mengganggunya lagi dan kembali dengan kegiatannya sendiri sampai mereka tiba di bandara Ngurah Rai Bali.

EleftheriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang