Chapter 23 🕊

83 6 0
                                    

Rendra kembali mencoba menghubungi Khaylila. Entah sudah berapa kali lelaki iti men-diall nomor istrinya tapi tak kunjung bisa. Chat yang dikirimkan pun hanya bertanda centang satu. Ponsel Khaylila dalam keadaan tidak aktif membuat Rendra bingung harus bagaimana.
Rendra ingin menghubungi Erika dan menanyakan perihal Khaylila, tapi dia tidak memiliki nomor Erika. Rendra hanya mengenal Erika sebatas nama dan sosoknya saja, tidak lebih dari itu. Nomor kantor Khaylila juga dia tidak punya. Rendra bahkan tidak tahu dimana letak kantor istrinya itu.
Satu hal yang disadari oleh Rendra adalah setelah berbulan-bulan mengenal Khaylila, gadis itu masih sama misteriusnya seperti pertama kali mereka bertemu. Tidak banyak yang dia ketahui dari istrinya karena memang mereka tidak pernah terbuka satu sama lain. Hanya untuk hal-hal tertentu saja mereka saling bicara, sisanya tetap menjadi privasi masing-masing.
Rendra menyerah dengan ponselnya dan beranjak masuk ke dalam kamar Khaylila. Lelaki itu mencoba mencari catatan nomor kantornya ataupun nomor Erika.
“Maaf, Khaylila, saya tidak bermaksud membongkar kamar kamu. Tapi ini penting,” bisik Rendra.
Usaha Rendra tidak membuahkan hasil. Sama sekali tidak ada catatan nomor telepon di kamar itu. Lagipula siapa yang menyimpan hal seperti itu di buku catatan pada zaman sekarang ini? Semua pasti disimpan di ponsel.
Rendra kembali ke sofa dan mendekam di sana. Tangannya kembali mengambil ponsel dan menghubungi Khaylila lagi dan lagi. Matanya menghadap ke arah televisi yang menayangkan sebuah film action agar tidak terlalu bosan menunggu ponsel Khaylila menyala.
“Halo.”
Rendra terkejut sendiri mendengar suara dari ponselnya. “Hah?!” Hanya itu yang mampu keluar dari mulutnya.
“Rendra?” Suara Khaylila terdengar jelas di telinga Rendra.
“K.. Kh.. Khaylila..” ucap Rendra terbata.
“Rendra, kamu kenapa?” tanya Khaylila bingung.
Rendra berusaha menenangkan dirinya. Usahanya selama berjam-jam menelepon Khaylila akhirnya berhasil dan itu membuatnya senang bukan main.
“Khaylila, kamu tahu berapa lama saya bolak-balik menghubungi kamu? Kamu kemana aja? Kenapa ponselnya tidak aktif?” tanya Rendra bertubi-tubi.
“Ponsel saya memang jarang aktif selama di sini. Ada apa? Apa ada yang penting?”
“Iya. Mama kamu tadi ke sini. Dia mau kita datang ke acara ulang tahun perusahaan,” jawab Rendra langung to the point.
“Kapan acaranya?” tanya Khaylila datar.
“Hari sabtu depan,” jawab Rendra. “Khaylila, jujur sama saya, kamu baik-baik saja di sana?”
“Hmm. Saya baik. Masih hidup dan bernapas seperti biasa.”
“Khaylila, saya serius bertanya sama kamu.”
“Saya juga serius menjawab pertanyaan kamu, Rendra.”
“Kamu tahu saya mengkhawatirkan keadaan kamu, Khaylila. Kamu entah ada dimana dan ponsel kamu tidak aktif. Suara kamu juga menunjukkan kalau kamu sedang tidak baik-baik saja,” ucap Rendra.
Khaylila terdengar menghela napasnya cukup panjang sebelum menjawab, “Saya akan pulang sebelum sabtu. Kita akan datang ke acara itu.”
“Khaylila…”
Apa yang hendak Rendra ucapkan terputus begitu saja karena Khaylila sudah menutup teleponnya. Rendra ingin menghubungi kembali tapi ponsel gadis itu sudah dimatikan lagi. Yang bisa dilakukan oleh lelaki itu hanya menghela napasnya.
****
Khaylila benar-benar menepati ucapannya untuk pulang sebelum hari Sabtu. Lebih tepatnya, Rendra mendapati gadis itu masuk ke apartemen mereka pada Jumat malam. Sikap Khaylila kembali seperti saat dia belum pergi. Dia seperti tidak pernah berubah menjadi Khaylila yang sering termenung dan pendiam. Semuanya kembali normal seperti semula.
Rendra sebenarnya sangat ingin bertanya, tapi dia urungkan karena ini bukan ranahnya. Semua sikap aneh Khaylila beberapa hari yang lalu mereka anggap tidak pernah ada. Biarkan itu menjadi rahasia di hati Khaylila seorang.
“Rendra, ini baju kamu.” Khaylila menyerahkan satu setelan jas formal pada Rendra pada Sabtu siang.
“Kapan kamu siapin ini?” tanya Rendra mengingat Khaylila baru saja pulang tadi malam.
“Saya nyuruh orang untuk beli beberapa hari yang lalu. Tadi pagi dikirim ke sini sekalian gaun saya juga,” jawab Khaylila.
“Kenapa tidak minta saya saja yang beli, Khaylila?”
“Ini acara keluarga saya, kamu tidak perlu mengeluarkan uang untuk itu.” Khaylila tersenyum sekilas. “Ah, iya. Nanti saya harus ke salon dulu. Kamu bisa jemput saya di sana.”
“Gak perlu dianter?”
“Repot kalau kamu harus bolak-balik. Kalau mau menunggu juga kamu akan bosan sendiri. Make up itu pasti memakan waktu yang lama.”
“Baiklah, jam berapa saya harus jemput kamu?”
“Nanti saya kabari kalau sudah selesai.”
Rendra menganggukkan kepalanya dan setelah itu Khaylila masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil gaun miliknya. Gadis itu langsung keluar dengan membawa gaun, sepatu dan beberapa aksesoris yang akan dipakainya nanti menuju salon yang sudah dipesannya. Khaylila membawa mobilnya sendiri dan nanti akan meminta Erika untuk membawa mobilnya pulang.
Beberapa jam kemudian ponsel Rendra berdering. Lelaki yang sudah siap dengan suit-nya itu memang sudah menunggu dering di ponselnya sejak tadi.
“Sudah siap?” tanya Rendra saat mengangkat telepon.
“Sudah. Kamu bisa jemput saya sekarang.”
“Oke.”
Rendra memasukkan ponselnya ke dalam kantong celananya dan segera turun menuju basement. Lelaki itu mengendarai mobilnya menuju salon yang disebutkan oleh Khaylila dalam chat mereka beberapa waktu yang lalu.
Sesampainya di sana, Rendra masuk ke dalam salon yang tampak sepi itu. Mungkin karena hari sudah sore dan pelanggan mereka sudah banyak yang pulang, maka suasana salon jadi sepi.
“Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya seorang pegawai salon yang menyambut kedatangan Rendra.
“Saya mau jemput istri saya,” jawab Rendra.
“Oh, Non Lila ya, Pak?”
“Iya. Dia sudah selesai?”
“Sudah, Pak. Mari saya antar.”
Rendra mengikuti pegawai itu menuju salah satu ruangan. Dia tersenyum saat melihat Khaylila yang duduk di ruangan itu dengan anggunnya. Gadis itu memakai gaun panjang berwarna navy, senada dengan setelan yang dipakainya. Dengan riasan yang tidak begitu tebal, membuat kecantikannya terpancar sempurna.
“Istri siapa ini? Cantik sekali,” goda Rendra.
Khaylila hanya mendengus mendengarnya. “Kamu tahu saya benci penampilan seperti ini, Rendra. Muka saya rasanya berat dengan semua bedak yang mereka gosok di sini.”
Rendra tertawa mendengar ucapan Khaylila. Lelaki itu mengulurkan tangannya untuk membantu Khaylila berdiri. “Ayo. Nanti kita terlambat.”
Khaylila menyambut uluran tangan itu dan mengikuti Rendra keluar dari salon. Mereka menuju perusahaan Ayah Khaylila yang menjadi tempat acara malam ini berlangsung.
Keduanya masuk ke dalam gedung yang sudah dipenuhi oleh para undangan. Tangan Rendra melingkar sempurna di pinggang Khaylila, sengaja ingin memamerkan kemesraan mereka.
“Papa,” Khaylila menyapa Ayahnya yang berdiri berdampingan dengan Ibunya.
“Oh, Lila sama Rendra udah dateng. Sini, sini kenalan dulu sama temen Papa,” ucap Ayah Khaylila.

EleftheriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang