22. Usaha Ares

6.5K 629 719
                                    

Makasih banyak buat kalian yang udh vote sama komen apalagi spam komen. Walaupun vote-nya belum mencapai target, tapi aku seneng banget karena kalian pada semangat komen😍🔥

Maaf upnya agak lama, aku nunggu vote tembus, tapi ternyata masih kurang 15 lagi, nggak papa, jadi aku up hari ini❤️

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen di chapter ini. Komen yang banyak. Kalau bisa, komen di setiap paragraf.

Happy Reading💜
______________________________________________

Sejak tadi Haura tak bisa tidur, padahal jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Aina sudah kembali ke asrama putri sekitar jam sepuluh malam tadi karena ia harus menyelesaikan sesuatu di sana, jadi tidak bisa tidur di kamar Haura.

Haura terus mencoba untuk memejamkan mata, barangkali ia bisa tertidur pulas dengan menutup mata terus-menerus, namun nyatanya tidak. Pikirannya selalu tertuju pada seorang lelaki yang mungkin saja sekarang masih duduk di luar gerbang Pondok Pesantren Nurul Huda.

Perempuan itu segera turun dari tempat tidur lalu berjalan menuju jendela, menyibak hordeng sedikit untuk melihat apakah di luar masih hujan atau tidak. "Masih gerimis," gumamnya. "Gimana kalau Mas Ares belum pulang? Dia pasti kedinginan banget."

Dengan cepat Haura menggelengkan kepala. "Nggak! Aku nggak boleh peduli." Diam beberapa detik. "Walaupun aku ikhlas Mas Ares balesin dendamnya ke aku, tapi aku kecewa sama dia, dia udah berani mempermainkan janji suci yang udah dia buat atas nama Allah, dia udah mempermainkan ikatan pernikahan kami."

Tanpa terasa air mata turun membasahi pipi Haura. Entahlah, pikiran dengan hatinya sedang tidak sinkron. Ia berusaha mati-matian untuk tidak peduli pada Ares, namun hatinya berkata lain. Ia bingung, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Ingin tidur pun ia tidak bisa. Alhasil ia berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Di sisi lain, badan Ares menggigil karena hujan yang sudah membasahi tubuhnya 3 jam lamanya meski sekarang tinggal gerimisnya saja. Sungguh ia bertekad untuk menunggu seseorang membukakan gerbang Pondok Pesantren Nurul Huda untuknya dan mempersilakan masuk lalu membiarkan dirinya bertemu dengan Haura.

Ya, harapan itu masih sangat besar dalam benak Ares. la keukeuh duduk di depan gerbang walau wajahnya sudah sangat pucat. Terlebih, hari ini ia hanya makan mie instan sepulang kerja sekitar pukul 4 sore.

"Ra, maafin saya," ucap Ares dengan suara bergetar. "Saya tau saya salah, saya mohon maafkan saya."

"Haura, dingin." Ia terus-terusan meracau sambil menyebut nama Haura tiada henti.

"Sedikit lagi, saya harus sabar, gerbangnya pasti bakalan kebuka. Ayah nggak mungkin tega ngebiarin saya hujan-hujanan kayak gini," gumam Ares meski penuh harapan walau pada kenyataannya Arfan tidak tahu jika sampai detik ini Ares masih menunggu di depan gerbang.

Saat hujan sudah reda dan jam telah menunjukkan pukul 1 dini hari, Ares tak beranjak dari tempatnya berada. la memeluk dirinya sendiri berusaha memberi kehangatan. Tentu saja masih dengan harapan yang sama yaitu ada seseorang yang membukakan pintu gerbang untuknya.

Keesokan paginya, Khalif mendapat bagian untuk berjaga di gerbang. la pun mulai melangkahkan kaki menuju ruang keamanan untuk mengambil kunci gembok.

Begitu kuncinya sudah didapat, Khalif langsung berjalan menuju gerbang Pondok Pesantren Nurul Huda lalu membuka gerbang tersebut. Betapa terkejutnya ia tatkala melihat seorang lelaki pingsan tepat di depan gerbang.

Dengan segera Khalif berlari menghampiri lelaki itu. Kedua matanya membulat sempurna karena ternyata lelaki yang pingsan ini adalah Ares, teman dekatnya.

Imam untuk Haura (New Version)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora