Bab 1

35.9K 903 27
                                    

~POV Wilujeng Rahayu, istri dari Rajendra Satria Ahmodjo~

Rinai hujan menemani perjalanan pulang kami dari dokter kandungan. Dari dalam mobil, aku melihat banyak pengendara motor yang terburu-buru mencari tempat berteduh untuk menghindari berkah Tuhan yang turun di pertengahan musim kemarau ini.

Pikiranku berkecamuk, pikiranku terasa penuh. Aku memejamkan mata membayangkan bagaimana perjalanan rumah tanggaku setelah ini? Pilihanku hanya dua, bercerai atau dimadu?

"Kita ga ke rumah ibuk mas?" Tanyaku ketika aku melihat Rajendra memilih jalan untuk kembali pulang ke rumah. Biasanya setelah dari dokter kandungan, kami langsung menuju ke rumah keluarga besar Rajendra untuk memberi tahu hasilnya. Tapi tidak untuk kali ini, Rajendra lebih memilih untuk pulang.

"Besok saja" jawab Rajendra singkat.

Rajendra banyak berubah setahun ini. Dia yang dahulu sangat hangat dan pengertian berubah menjadi lelaki yang dingin dan berbicara seperlunya saja kepadaku.

Usai memarkirkan mobil di garasi, Jendra langsung naik ke lantai dua lalu menuju ke kamar tidur kami.  Dia melepas kemejanya dan meletakkannya secara asal kemudian berganti pakaian untuk tidur.

Di awal pernikahan sampai dua tahun pernikahan, aku melihat Jendra adalah sosok yang sangat rapi dan bersih. Tapi Tidak di tahun ke tiga ini, dia berubah total hampir 180 derajat.

Aku memungut kemeja dan celananya yang berserak di lantai. Seperti biasanya, aku merogoh kantong celana kotor itu sebelum menaruhnya ke  keranjang cucian.

Kertas putih lecek dengan tinta biru yang sudah memudar aku temukan di dalam kantong celana katun berwarna hitam milik Jendra.

"Bill rumah sakit?" Monologku.

"Apa Mas Jendra sakit? Kenapa ga ngomong sama aku?" Bingungku menebak-nebak sendiri.

Aku membaca ulang tulisan kwitansi itu dengan seksama. Namun nama pasien yang tertera di kwitansi itu benar-benar memudar seperti terkena tetesan air.  Hanya ada keterangan jumlah tagihan yang harus dibayar dan dokter yang bertanggung jawab memeriksa pasien yaitu Dr. Sangaji Widodo Sp. OG.

Bukankah ini gelar dokter kandungan? Tapi untuk apa Jendra menemui dokter kandungan selain dokter Arini- dokter yang kami percaya untuk program kehamilan kami? Apa selama ini Jendra bermasalah dan ia berusaha untuk mengobati dirinya terlebih dahulu? atau ia hanya mencari second opinion agar kami bisa segera memiliki momongan?

Sebaiknya aku menyimpan kertas ini dan akan aku tanyakan kepada Rajendra besok pagi.

Malam semakin merangkak naik, membuat tubuh letih ini meminta jatah untuk dibaringkan ke tempat tidur.

Sebelum tidur, aku mengganti baju dengan gaun tidur satin tanpa lengan yang panjangnya hanya mampu menutupi separuh pahaku. Baju tidur satin berwarna merah darah ini terlihat sangat kontras dengan kulitku yang berwarna seputih susu.

Kubasuh wajahku di wastafel yang berada di kamar mandi. Setelahnya aku mengaplikasikan beberapa langkah perawatan kulit wajah untuk memperlambat penuaan dini. Tidak lupa aku juga memakai parfum beraroma vanilla kesuakaan Rajendra.

Aku menatap nanar wajahku yang mulai tirus melalui cermin. Tulang pipiku menonjol, terlihat sangat kurus karena banyak masalah yang akhir-akhir ini  menjadi beban pikiranku.

Bobot tubuhku tinggal 40 kg dengan tinggi 155 cm. Dokter bilang, aku harus banyak makan makanan bergizi agar tubuhku sehat dan siap untuk mengandung.

Tapi sebanyak apapun aku makan akan percuma jika aku stress disebabkan tekanan dari keluarga besar suamiku dan dari kedua orang tuaku sendiri.

Aku memasuki kamar tidur kami. Rajendra nampak sudah terlelap dalam dekapan mimpi, terlihat dari nafas dan dengkuran halusnya yang mulai teratur.

Aku ikut bergabung dengan Rajendra di ranjang. Menempelkan badanku ke tubuhnya lalu memasukkan wajahku ke dalam ceruk leher milik Rajendra. Aku sangat menyukai wangi tubuh Rajendra saat seperti ini. Aromanya sungguh sangat menenangkan.

Rajendra sedikit menggeliat dengan kelopak mata yang terbuka separuh. Melihatku yang terbaring di dalam pelukannya membuat tangan Rajendra yang semula bebas lalu ia lingkarkan mendekap pinggang rampingku.

Beberapa menit kemudian kami sama-sama terlelap ke alam mimpi. Meninggalkan masalah dunia yang menggunung untuk mengistirahatkan jiwa yang terlalu lelah.

****

Suara wajan dan spatula kayu beradu nyaring saat aku sibuk memasak nasi goreng di atas kompor.

Nasi sisa kemarin yang masih sangat layak untuk dimakan sangat sayang jika harus dibuang. Waktu aku kecil, ibu sering membuatkan nasi goreng untukku dan kedua adikku dari nasi sisa semalam yang digoreng dengan minyak jelantah.

Jangan tanyakan rasanya? Nasi goreng dengan bumbu minimalis itu tidak akan mungkin seenak nasi goreng yang dijual abang- abang di pinggir jalan dengan bumbu lengkap dan topping telur ceplok yang menggoda selera.

Nasi goreng sederhana bikinan ibu sudah menjadi sarapan mewah untuk kami meski tidak ada gizi di dalamnya. Tak perlu memikirkan gizi, asal perut tak merasa lapar dan tak perlu diganjal dengan air putih saja, kami sekeluarga sudah sangat bersyukur.

Keluargaku dahulu sangat miskin. Itu kenyataannya. Gaji bapak yang bekerja sebagai guru honorer harus bisa ibuk cukup-cukupkan untuk biaya sekolah dan biaya makan satu keluarga sampai akhir bulan.

Tak jarang jika ada kebutuhan mendadak seperti ada anggota keluarga yang sakit atau sumbangan pernikahan dan kelahiran yang datang bersamaan membuat gaji bapak tak akan cukup untuk makan sampai akhir bulan.

Kalau sudah seperti itu, ibuk akan berhutang ke warung atau tetangga di sekitar rumah kami. Jika ibuk tidak mendapat pinjaman itu, terpaksa kami berlima harus menahan lapar.

Tak jarang aku lebih  memilih berpuasa sekalian meskipun hanya sahur dan berbuka dengan beberapa gelas air putih.

Suara deritan kursi yang ditarik dari kolong meja makan membuatku menoleh ke belakang. Mengabaikan wajan dengan kompor yang menyala, aku melihat sosok Rajendra yang sudah duduk anteng sambil sibuk memperhatikan layar gawainya.

"Selamat pagi mas?" Sapaku dengan menampilkan segaris senyum ke arah suamiku.

"Pagi Wilu..." Jendra hanya menjawab sapaanku sekedarnya tanpa mengalihkan tatapan matanya dari gawai yang sedang asyik ia mainkan.

"Mau teh atau kopi mas?" Tanyaku meminta perhatiannya kembali.

"Kopi"

Aku memasukkan dua sendok teh gula dan satu sendok teh kopi ke dalam cangkir, lalu menuangkan air mendidih dari teko yang baru saja aku rebus.

Rajendra lebih menyukai kopi yang diseduh manual seperti ini daripada dibuat menggunakan mesin coffe maker.

"Awas mas, masih panas" Aku mengingatkan Rajendra karena ia terlalu sibuk dengan ponselnya. Aku takut bibir dan lidahnya akan terbakar jika menyesap air kopi yang masih mengepul.

Sepiring nasi goreng yang telah matang lengkap dengan telur ceplok aku hidangkan di hadapan Jendra.

"Makasih Wilu" Ucapnya singkat.

"Mas, tadi pagi budhe telepon. Nanti sore kita disuruh ke rumah eyang" Ada getar dalam suaraku ketika menyampaikan titah itu kepada Rajendra.

Kedatangan kami ke rumah eyang bukan untuk mendapatkan pelukan hangat dari keluarga besar melainkan mendapat penghakiman dari saudara-saudara Rajendra terutama ditujukan kepadaku.

Aku menunduk, mangaduk-aduk makananku yang sudah tidak menarik selera makanku lagi. Namun dari ekor mataku aku menangkap Rajendra tampak melihat ke arahku. Ia menghela nafas perlahan.

"Kamu pergi duluan ke rumah eyang. Nanti aku nyusul. Kerjaanku sangat banyak hari ini"

Aku mengangguk mengiyakan perkataan Rajendra. Akhir-akhir ini Rajendra memang sangat sibuk. Ia sering sekali pulang larut malam.

Beberapa menit kemudian Rajendra meninggalkan duduknya dengan menyisakan nasi goreng yang masih teronggok separuh di atas piring.

Serpihan Hati (END)Where stories live. Discover now