Bab 14

12.4K 627 30
                                    

~POV Rajendra Satria Ahmodjo~

✉️ Mas, kamu dimana sih? Kenapa ga jemput?

Ponsel yang aku bisukan terus menyala ketika muncul pop up- notifikasi pesan masuk yang belum aku baca. Puluhan pesan itu masuk karena aku mengabaikan puluhan panggilan dari Laras yang merong-rong ponselku. Bukanya aku tidak tahu jika Laras kebingungan mencariku atau mengkhawatirkanku, aku hanya masih merasa enggan.

Entah keengganan seperti apa, aku sendiri belum bisa meraba apa yang diinginkan hatiku setelah Wilujeng Rahayu membuatnya mati rasa tanpa sisa.

Aku seharusnya bisa melihat ke arah Laras. Perempuan itu begitu baik dan begitu tulus. Dari cerita Budhe Galuh dan Pak Lik Raharjo yang bercerita jika perempuan berparas ayu itu hanya mencintaiku seorang sejak pertemuan pertama kami.

Aku bertemu dengan Laras pertama kali saat liburan keduaku ke Indonesia. Waktu itu Budhe Galuh punya gawe (acara) menikahkan anak perempuannya yang mbarep (pertama) dan saat itulah Budhe mengenalkanku dengan perempuan yang bernama Laras.

Aku tahu jika Laras menaruh hati kepadaku sejak pertemuan pertama kami. Aku tipe laki-laki yang mudah peka. Gadis itu menunjukkan ketertarikannya kepadaku secara terang-terangan.

Namun sayangnya perempuan yang berprofesi sebagai dokter umum itu bukanlah perempuan pemilik hatiku. Semua cinta yang ada di dalam diriku sudah dirampas habis oleh perempuan bernama Wilujeng Rahayu.

Bunyi ketukan dari daun pintu menyadarkanku dari lamunan. Pikiranku masih terasa penuh dengan perempuan yang baru lima jam lalu aku pulangkan ke rumah kedua orang tuanya.

"Masuk Pak" Ucapku pada satpam kantor yang bernama Pak Sukri.

Pak Sukri masuk setelah mendengar titah dariku. Laki-laki paruh baya itu menenteng sebuah cup kopi dari coffe shop ternama atas permintaanku.

"Ini pak kopinya" ia meletakkan satu cup kopi itu di atas meja kerjaku. Namun setelah melakukan pekerjaannya ia tidak bergeming dari tempatnya berdiri, sehingga menuntutku untuk bertanya sesuatu hal kepada salah satu penjaga keamanan di kantorku ini.

"Ada yang ingin bapak sampaikan lagi?"

"Em anu pak.... tadi ada yang telepon ke kantor. Seorang perempuan. Ngakunya istri bapak dan menanyakan apa bapak ada di kantor? Tapi dari suaranya sepertinya bukan ibu Wilujeng, jadi saya tutup dan saya abaikan. Mungkin orang iseng" Meskipun masalah sepele, namun Pak Sukri tetap manyampaikan gangguan kecil itu kepadaku. Sejak beliau menjadi petugas keamanan, aku memang mewanti-wanti untuk melaporkan hal sekecil apapun yang mengganggu kenyamanan kantor.

Aku hanya menganggukan kepala tanpa mau repot-repot menjelaskan kepada Pak Sukri jika Laras- lah yang menelepon kantor untuk mencari keberadaanku.

"Makasih Pak laporannya" Hanya kalimat itu yang aku ucapkan agar Pak Sukri segera meninggalkan ruanganku.

Aku putuskan mengambil ponsel dan mendial nomor Laras untuk mengabarinya. Aku baru menyadari sifat Laras yang seperti peneror kecil setelah ia benar-benar memilikiku secara sah di mata agama.

Tidak menunggu lama, pada deringan pertama Laras sudah mengangkat panggilanku.

"Mas dimana sekarang? Apa masih di rumah orang tua Wilu? Kenapa baru ngabari sih? Mas tahu ga kalau aku disini itu khawatir sama mas..."

"Pelan-pelan Ras ngomongnya. Salam dulu" Aku terpaksa memotong ucapan Laras yang memberondongku dengan banyak pertanyaan.

"Assallammuallaikum" Dari nada suaranya aku tahu jika ia sedang merajuk.

"Waallaikumsalam" kataku.

"Kamu dimana? Di rumah Mama atau di rumah besar?" Aku mengabaikan pertanyaan Laras. Aku ingin tahu keberadaannya terlebih dahulu. Karena sekarang perempuan itu sudah menjadi tanggung jawabku.

"Di rumah besar sama Budhe Galuh"

"Kenapa ga ikut pulang ke rumah Mama? Mama Retno sekarang juga Mama kamu. Setidaknya kalau kamu ikut pulang ke rumah Mama kamu bisa semakin deket sama Mama" Aku mencoba memberi saran kepada Laras karena selama ini ia mengeluhkan sikap Mamaku yang belum bisa menerima kehadiran Laras.

Mama memang kecewa berat dengan perbuatan Wilu yang menyelingkuhiku namun beliau orang yang cukup keras menentang keputusanku untuk menikahi Laras atas desakan Budhe Galuh dan Pak Lik Raharjo. Bagi Mama kesetiaan itu nomor satu di pernikahan. Meskipun perbuatan Wilu salah namun beliau tidak membenarkan jika aku melakukan hal yang sama dengan memadu Wilu dibelakangnya.

Aku mendengar hembusan berat dari nafas Laras "Mas, kan tahu sendiri kalau Mama selalu ketus sama aku. Beliau kecewa sama mantan menantu kesayanganya tapi justru aku yang kena getahnya. Apapun yang aku lakuin selalu salah di mata Mama Retno"

"Iya aku tahu Ras. Tapi beliau Mama aku. Jadi kamu juga harus berusaha buat meluluhkan hati Mama"

"Iya Mas akan aku coba. Mas kapan jemput aku?" Laras menggiring pembicaraan kembali ke topik awal.

"Aku ga bisa jemput kamu. Aku lagi ada di kantor karena kerjaanku masih banyak. Hari ini kamu nginep di rumah besar dulu ya. Besok baru aku jemput" Kerjaanku memang sangat banyak. Tapi sebenarnya pekerjaan ini tidak mendesak untuk di selesaikan. Hanya saja aku masih ingin sendiri untuk fokus menyembuhkan lukaku sebelum memulainya dengan orang yang baru. Aku tidak mau mengkhianati Laras karena perasaanku masih penuh dengan Wilu.

"Kok gitu Mas. Apa ga bisa ditunda? Apa kerjaan Mas lebih penting daripada aku sekarang? Bahkan kita belum menghabiskan malam bersama loh.."

"Maaf banget Ras. Aku selesaiin dulu pekerjaanku. Assallammuallaikum" Aku menutup telepon sepihak tanpa menunggu balasan salam dari Laras.

Setelahnya aku melempar ponselku ke arah sofa namun sebelumnya aku mematikan gawaiku itu supaya tidak ada orang yang menggangguku lagi.

Hari ini aku putuskan untuk menginap di kantor. Hal yang tidak penah aku lakukan selama aku menikah dengan Wilu.

Dahulu meskipun kami sedang bertengkar entah pertangkaran kecil atau besar, kami tidak pernah tidur terpisah. Bahkan kami tidak pernah marahan lebih dari satu hari. Entah aku atau Wilu pasti akan meminta maaf lebih dahulu karena kami tidak tahan saling mendiamkan.

Namun semuanya berubah saat aku mendapati foto kebersamaan Wilu dengan Djati. Entah mengapa kepercayaanku terhadap Wilu mulai terkikis. Aku menyadari jika Wilu sering berbohong hanya untuk bertemu dengan Djati.

Aku sangat kecewa karena terus-terusan dibohongi oleh perempuan itu. Namun aku bisa apa? Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena aku belum bisa kehilangan dirinya. Aku hanya takut, laranganku dan amarahku akan membuat Wilu jatuh kepelukan Djati- cinta pertama Wilu selama tujuh tahun.

Aku menyadari, aku orang baru yang ada di hidup Wilu karena adanya perjodohan. Cinta paksa akan kalah dengan cinta sejati, bukan?

Untuk itu aku hanya memilih diam namun hatiku seolah membuat jarak dengan sendirinya, karena ada perasaan patah di dalam hati yang makin lama semakin hancur berkeping.

Aku memilih suntik hormonal di belakang Wilu agar aku bisa menunda memiliki keturunan. Aku hanya takut jika Wilu akan meninggalkanku dan memilih bersama Djati. Aku takut jika memiliki anak nantinya akan membuat anakku menjadi korban. Anak yang tidak berdosa akan menjadi korban perpisahan orang tuanya.

Tatapanku tiba-tiba tertuju pada bingkai foto Wilu yang aku letakkan di meja kerja. Foto Wilu yang tersenyum manis yang aku ambil secara candid saat kami makan malam bersama untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami yang kedua. Kebahagian yang terasa sempurna sebelum kedatangan Djati yang menghancurkan segala yang aku punya.

Namun sekarang semuanya tinggal kenangan. Aku harus melangkah maju dan meinggalkan kenanganku bersama Wilu di belakang.

Laras masa depanku dan Wilu masa laluku. Aku mengambil bingkai foto Wilu lalu memasukkan benda itu kedalam tempat sampah.

"Selamat tinggal Lu. Semoga kamu bahagia dengan Djati"

Update lebih cepat di KBM dan Karyakarsa (link ada di bio 🤗)

Serpihan Hati (END)Where stories live. Discover now