Bab 4

13.8K 523 21
                                    

Pagi ini sikap Rajendra kepadaku terlihat lebih hangat dibandingkan hari-hari sebelumnya. Aku menebak mungkin ada hubungannya dengan kegiatan ranjang kami tadi malam yang mebuat dia beberapa kali mengulas senyum manis ke arahku.

Rajendra sangat mendominasi dan membuatku kelelahan sampai menjelang subuh. Aku tidak protes atau kesal karena laki-laki itu membuat tubuhku remuk redam pagi ini. Justru aku sangat bahagia karena bisa menyenangkan dan memenuhi keinginan Rajendra.

Kecupan manis mendarat di keningku saat Rajendra turun dari lantai dua lalu menemukan keberadaanku di ruang makan untuk menyiapkan sarapan.

"Pagi Lu..." Sapanya setelah melepas kecupan singkat di keningku. Rasa bahagia tiba-tiba menyergap ke dalam relung hatiku. Aku rindu saat-saat seperti ini. Aku rindu sikap Rajendra yang menyayangiku seperti ini.

"Pagi Mas" Aku membalas sapaannya tak kalah manis.

Aku mengambilkan sarapan nasi pecel dengan lauk ayam goreng ke piring milik Rajendra. Nasi pecel dengan bumbu kacang khas madiun ini sangat disukai oleh suamiku. Apalagi dilengkapi dengan rajangan mentimun segar dan rempeyek kacang tanah.

"Thanks Lu" ucapnya seraya mengembangkan senyuman ke arahku untuk kesekian kalinya. Lesung pipi tercetak jelas kala senyum indah itu tersungging di wajah tampan milik Rajendra. Seringkali lesung pipi itu membuatku terhipnotis untuk berlama-lama memandangi wajah tampan suamiku.

"Orange jus atau teh?" Aku menawarkan dua jenis minuman untuk suamiku sebagai pelengkap menu sarapannya.

"Bagaimana kalau kopi?" Namun ia tetap memintaku untuk menyeduh minuman kesukaannya.

"Maaf mas, kopinya baru habis. Aku lupa beli" Aku benar-benar lupa untuk membeli bubuk kopi kemarin sore. Karena terlalu banyak pikiran saat disuruh bertandang ke tempat eyang membuatku menjadi lupa untuk membeli bubuk kopi robusta kesukaan Rajendra.

"Ga papa Lu. Kalau gitu aku mau orange jus saja" pinta Rajendra kemudian.

Rajendra tak akan pernah marah dengan hal-hal sepele seperti ini. Salah satu sifat inilah yang membuatku merasa nyaman bersuamikan Rajendra Satria Ahmodjo.

Aku menghidangkan segelas jus jeruk ke hadapan Rajendra. Jus jeruk itu aku buat dari perasan jeruk segar lalu menambahkan sedikit gula untuk mengurangi rasa asam pada perasan air jeruk itu.

Rajendra sangat lahap menyantap sarapannya dengan sesekali meneguk jus jeruk buatanku.

Ponselku bergetar tanda ada notifikasi pesan masuk. Ternyata dari sahabatku Djati. Djati memintaku untuk menemaninya memilih gedung untuk melangsungkan pernikahannya.

Djati adalah mantan kekasihku namun sekarang ini kami memutuskan untuk bersahabat. Setelah dua tahun lost contact dengannya, aku bertemu dengan Djati secara tidak sengaja pada saat berbelanja di swalayan.

Waktu itu ia bersama kekasihnya bernama Riana. Aku mengenal Riana. Perempuan ayu lemah lembut- kekasih Djati itu adalah sahabat Djati waktu SMP. Kami bertiga akhirnya membentuk sebuah pertemanan di grup Whatsapp.

Karena Riana yang sering melakukan kunjungan kerja ke luar kota membuat perempuan itu cukup sibuk. Tidak jarang Djati dan Riana meminta bantuanku untuk membantu mempersiapkan acara pernikahan mereka.

Riana menilaiku sangat tahu apa yang ia inginkan untuk acara pernikahannya. Termasuk memesan gedung, kali ini ia memasrahkannya kepadaku dan Djati. Riana akan menyusul jika pesawat yang ditumpanginya nanti tidak delay.

Namun aku belum bisa jujur kepada Rajendra jika aku berhubungan kembali dengan Djati sebagai teman. Rajendra sangat pencemburu dan sangat posesif. Aku takut Rajendra akan salah paham mengenai Djati. Padahal aku dan Djati sudah tidak memiliki perasaan apapun. Sama halnya perasaan Djati kepadaku.

Beruntung Riana berpikiran terbuka. Bahkan kami bisa bersahabat layaknya keluarga. Tak jarang aku sering pergi hang out bersama Riana tanpa Djati. Riana tidak menaruh rasa cemburu sedikitpun kepadaku karena ia tahu betapa besar cintaku kepada Rajendra.

Hanya Rajendra, laki-laki yang menempati lubuk hatiku paling terdalam. Bahkan cintaku dahulu kapada Djati tidak ada apa-apanya jika dibandingkan cintaku kepada Rajendra saat ini.

Aku terpaksa berbohong kepada Rajendra untuk menemani Djati mencari gedung pernikahan. Aku beberapa kali menggunakan alasan mengunjungi orang tuaku untuk keluar bersama Djati.

"Mas, boleh gak hari ini aku ke rumah ibuk? Aku kangen sama ibuk"

Mendengar permintaanku seketika senyum bahagia di wajah Rajendra memudar. Wajah sumringah itu tiba-tiba saja berubah menjadi dingin.

"Boleh..." ucapnya singkat memberiku ijin.

Aku tidak tahu kenapa suasana hati Rajendra tiba-tiba saja berubah. Padahal dari awal pernikahan ia tidak mempermasalahkan jika aku ingin pergi mengunjungi kedua orang tuaku.

Namun aku tidak ingin ambil pusing. Terkekang menjadi ibu rumah tangga seutuhnya membuatku sering merasa bosan. Sebenarnya Rajendra memenuhi kebutuhanku baik lahir maupun batin. Namun dari pagi sampai malam aku merasa sendirian karena Rajendra sibuk bekerja. Sedangkan ART yang bekerja dirumah kami hanya bekerja setengah hari. Rajendra tidak suka privacy rumah tangganya ada yang mengganggu. Untuk itu kami memutuskan untuk mengambil ART yang tidak menginap di rumah.

Namun sejujurnya aku sangat kesepian. Aku juga butuh keluar dan berinteraksi dengan beberapa orang. Terkurung dalam rumah mewah di kawasan elit membuatku tidak bisa bercengkrama dengan para tetangga. Untuk itu aku memutuskan akan tetap keluar meski Rajendra memberi ijin dengan setengah hati.

****

Aku menunggu kedatangan Djati di sebuah taman yang tidak jauh dari rumahku.

"Sorry... sorry Lu. Aku terlambat" Djati meminta maaf karena dia terlambat setengah jam dari jam yang disepakati.

"Ngapain aja sih Djati. Tau sendirikan aku ga bisa lama-lama" Sungutku pada Djati.

"Yaelah Lu. Kamu kan tahu sekarang ini kota Solo sering macet. Lagian salah sendiri kamu kucing-kucingan sama Mas Jendra" Djati membeberkan alasan mengapa dirinya terlambat dan berganti menyalahkanku. Aku, Djati, dan Riana memang seumuran. Sedangkan Rajendra tiga tahun lebih tua dari kami sehingga Djati memanggil Rajendra dengan tambahan 'mas' untuk menghormatinya.

Aku memasuki mobil Djati untuk menuju gedung pernikahan yang sudah ditentukan dalam daftar list milik Riana.

Kali ini kami menuju ke sebuah hotel yang ada di jalan arteri kota Solo. Hotel ini menawarkan pendopo besar yang terbuka untuk melangsungkan acara pernikahan. Bukan ball room tertutup seperti yang ada di hotel-hotel biasanya.

Jalanan cukup macet. Mobil beberapa kali berhenti karena terkena lampu merah.

"Lu, kapan kamu mau bilang sama Mas Jendra kalau kita bertiga temenan? Aku takut kalau Mas Jendra bakalan salah paham" Tanya Djati saat kami masih ada di dalam mobil menunggu lampu lalu lintas menyala hijau.

"Jangan sekarang Djati. Aku ga mau Mas Jendra cemburu dan melarangku bertemu dengan kalian.  Aku bisa stress. Tahu sendiri temanku cuma Riana dan kamu"

Djati tidak menanggapi. Ia sibuk memasukkan perseneling dan menginjak gas saat lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.

"Entar kalau kalian sudah menikah, aku bakalan ngomong sama Mas Jendra. Aku hanya menunggu momen yang pas aja" aku melanjutkan ucapanku yang terjeda.

"Terserah deh Lu. Menurutku lebih cepat lebih baik. Aku dan Riana ga mau salah paham dengan suamimu"

"Iya.. iya Djati. Buruan dong kita udah makan waktu setengah jam nih buat di jalan. Aku ga mau   Mas Jendra lebih duluan ada di rumah ketimbang aku" aku menggerutu karena waktuku terbatas dan  gedung pernikahan yang ada di daftar list milik Riana ada lima gedung.

"Kamu ga liat jalanan macet? Kalau mobilnya bisa terbang bakalan aku terbangin Lu"

"Tau ah. Aku capek, aku mau tidur. Kalau udah sampai hotel entar bangunin aku"

Djati tersenyum mengejek ke arahku sambil mengeleng-gelengkan kepalanya karena merasa lucu melihatku tertidur di jok mobilnya. Aku masih bisa melihatnya karena kelopak mataku belum sepenuhnya tertutup rapat.

Serpihan Hati (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora