Bab 17

12.1K 603 54
                                    

Aku mengantar Laras menuju tempatnya bekerja. Perempuan itu bekerja di salah satu klinik swasta yang tidak jauh dari rumah eyang kakung.

Aku memang tidak melarang Laras untuk bekerja sebagai dokter umum setelah kami menikah. Aku membebaskannya. Tidak mengekangnya seperti aku memperlakukan Wilu.

Dahulu aku memaksa Wilu untuk berhenti bekerja sejak kami resmi menikah. Aku memang membatasi pergaulan Wilu. Aku tidak mau Wilu mempunyai pergaulan yang luas dan mengenal banyak orang. Aku takut suatu saat ia akan menemukan laki-laki yang tepat. Laki-laki yang bisa membuatnya jatuh cinta melebihi cintanya kepadaku.

Cara kotor yang aku gunakan untuk mendapatkan Wilu menjadi boomerang untukku sendiri. Aku hidup dalam ketakutan. Aku hidup dalam bayang- bayang Djati yang memiliki porsi cinta paling besar di hati mantan istriku.

Hidup penuh dengan rasa takut akan kehilangan Wilu kapan saja, membuatku semakin mengekang Wilu lebih erat lagi. Aku semakin posesif dan menjadi sangat pencemburu.

Bahkan aku membuat Wilu hanya bergantung kepadaku. Aku tidak membiarkannya mandiri. Supaya aku bisa mengontrolnya.

Aku tahu Wilu tersiksa karena sikapku. Tapi aku bisa apa? Aku hanya tak mau kehilangan dirinya.

Aku menyadari puncak dari kejengkelan Wilu terhadap sikapku, saat ia mulai berani berbohong. Mencuri- curi keluar rumah tanpa sepengetahuanku. Tanpa meminta ijin dariku.

Aku tahu aku kecolongan saat Lingga menyodorkan beberapa lembar foto kebersamaan Wilu dengan Djati. Namun aku meminta Lingga untuk merahasiakan foto-foto itu dari keluarga besar.

Awalnya aku menolak percaya jika Wilu mengkhianatiku. Hatiku tiba-tiba saja terasa kebas. Aku menolak mencari tahu karena aku takut menemukan kenyataan pahit yang menantiku di depan sana. Aku menutup mata dan telinga dari pengkhianatan Wilu dan membuatnya seolah tidak terjadi apa-apa.

Rumah tangga kami berjalan seperti hari-hari biasanya namun hati kami terasa sangat berjarak. Tidak ada kehangatan yang terasa karena sakit dibohongi tidak bisa membuatku bersikap baik-baik saja.

Namun pada akhirnya Wilu lebih memilih Djati karena rela mengandung darah daging laki-laki rivalku itu. Tak ada yang bisa aku perbuat lagi jika Wilu sudah memiliki hubungan dengan Djati sejauh itu. Jadi aku putuskan untuk melepaskannya.

Kini sudah ada Laras yang menjadi pendamping di hidupku. Aku harus mulai melupakan Wilu dan belajar untuk mencintai Laras.

Aku menginjak rem mobilku saat kendaraan roda empat ini sudah memasuki halaman parkir klinik.

"Aku nanti pulang kerja mampir ke rumah besar ya mas. Bukanya aku ga pengen langsung pulang dan ketemu Mama. Cuma aku pengen pulang bareng Mas Jendra. Jadi mas jemput aku di rumah eyang kakung gimana?"

"Heem, nanti sore aku jemput kamu di rumah besar"

Aku mengabulkan permintaan Laras. Aku menuruti kemauannya karena aku juga memaksanya untuk kami tinggal di rumah mama selama beberapa bulan ke depan.

"Makasih Mas Jendra" ucapnya lalu mencium punggung tanganku.

Aku memperhatikan Laras yang turun dari mobil sampai masuk ke dalam klinik. Setelahnya aku menekan pedal gas untuk melajukan kendaraanku menuju kantor.

Memasuki ruangan kantorku, aku sudah di sambut oleh Bayu-- teman sekaligus tangan kananku yang sedang duduk santai di sofa.

"Pagi Pak Bos...!" Sapanya sambil menyengir lebar memperlihatkan gigi- giginya.

"Pagi" balasku singkat.

Bayu berjalan ke mejaku setelah melihatku duduk bersandar di kursi. Ia lalu meletakkan bingkai foto Wilu di atas meja kerjaku. Binkai foto yang dua hari lalu aku buang ke tong sampah karena aku ingin menyingkirkannya.

"Foto keramat kok bisa nyasar ke tong sampah. Untung OB tadi lihat dan nitipin sama aku"

Aku meloloskan decakan kecil. Bayu membuatku repot kembali karena harus menyingkirkan foto Wilu.

Aku mengambil lagi bingkai foto mantan istriku itu lalu melemparkannya kembali ke tong sampah. Bingkai foto itu meleset dan justru menghantam tembok membuat kacanya menjadi pecah berserpih- serpih.

"Tolong panggilin OB dan minta untuk membuang sampah itu" Titahku kepada Bayu.

Bayu melongo sambil melihatku dengan tatapan tidak percaya. "Bro, kamu lagi ribut sama Wilu? Ya jangan sampai buang foto istri kamu keles..."

Bayu beranjak dari tempatnya berdiri kemudian mengambil foto Wilu dan membersihkannya dari sisa-sisa serpihan kaca.

"Aku memutuskan untuk bercerai sama Wilu"

Bayu tersedak air liurnya sendiri sampai terbatuk-batuk saking terkejutnya mendengar keputusanku.

"Serius Bro?" Tanyanya masih tak percaya.

Aku mengangguk, mengukuhkan keputusanku "Wilu selingkuh sama mantan pacarnya. Dan dia sedang mengandung anak selingkuhannya. Jadi aku memutuskan untuk melepaskan Wilu"

Bayu menarik kursi di depanku. Dia bertingkah seperti pemburu berita yang mengorek informasi dari narasumbernya "Kamu lihat sendiri kalau Wilu selingkuh? Soalnya aku kayak ga percaya istri kamu bisa ngelakuin itu"

"Ya, aku lihat sendiri dia masuk ke hotel sama mantan pacarnya"

"Terus kamu grebek mereka di kamar hotel?" Bayu melihatku lekat, menunggu jawaban yang sudah pasti ia perkirakan.

"Aku ga mau buat keributan" Bayu nampak kecewa dengan jawabanku.

"Yaelah... ga jadi baku hantam dong! Kurang seru kamu Bro! Jadi laki lembek amat kayak terong kukus" oloknya.

"Kalau aku jadi kamu, bakal aku labrak terus aku kebiri dua-duanya Bro. Bisa- bisanya main serong di saat suami lelah mencari nafkah untuk membahagia.."

"Ga usah lebay. Masalahnya udah selesai" Aku memotong ucapan Bayu yang mulai melebih- lebihkan permasalahanku.

"BTW, Wilu beneran ngaku kalau doi selingkuh sama mantannya?" Bayu memang memiliki sifat kepo yang mendarah daging. Untuk itu aku jarang menceritakan masalah rumah tanggaku kepada manusia spesies ini.

"Awalnya ga tapi terus ngaku saat aku memilih menceraikannya. Dia dulu juga kekeh bayi yang ada dikandungannya itu anakku. Padahal aku melakukan kontrasepsi hormonal"

Bayu manggut-manggut tidak jelas "Kok aku sangsi ya bro..... Mungkin aja doi beneran ga selingkuh sama mantannya. Soalnya bukti yang kamu ceritain ke aku itu kayak ga kuat gitu.... dan apa kamu ga takut jika bayi di kandungan Wilu itu ternyata beneran anak kamu? Soalnya banyak tetangga gue yang udah melakukan kontraspesi masih aja kebobolan tiap tahun. Heran deh! Pakai jurus apa mereka sampai bisa beranak pinak kayak gitu"

"Aku sudah satu tahun melakukan kontrasepsi hormonal. Jadi ga mungkin kalau itu anak aku Bambang!"

"Eh... bisa aja gagal Bro. Aku kenalin tetanggaku, namanya mbak Susi. Udah KB jenis apapun tetap aja gagal sampai anaknya udah ada sebelas" katanya membalas kalimatku.

"Udah stop! Kerjain tugas kamu. Aku bayar kamu buat kerja. Bukan buat ngegibahin rumah tangga orang" Kataku memperingati Bayu.

"Yaelah.... ngegibah juga sama kamu Bro" Bayu meninggalkan kursi yang didudukinya dengan muka yang ditekuk kesal.

Aku memandangi lembar foto Wilu yang tadi dipungut oleh Bayu. Ada sesuatu yang mengusikku saat Bayu mengatakan kemungkinan anak yang dikandung Wilu bisa jadi darah dagingku sendiri.

Rasanya sungguh campur aduk...

Aku mendial nomor rumah sakit untuk membuat janji dengan Dokter Sangaji Widodo-- dokter yang meyuntikan kontrasepsi hormonal ke tubuhku. Aku harus memastikan sesuatu agar kegamangan di dalam hatiku ini terjawab dengan jelas.

Update lebih cepat di KBM dan Karyakarsa (link ada di bio 🤗)

Serpihan Hati (END)Where stories live. Discover now