Bab 16

12.5K 592 28
                                    

Laras yang sedang duduk di pinggiran ranjang langsung bangkit ketika melihatku berdiri di antara celah pintu. Perempuan berbaju seksi itu berdiri kaku di samping ranjang sambil melemparkan senyum manisnya ke arahku.

Aku terpaku sejenak, namun seketika muncul rasa kecanggungan di hatiku karena perempuan yang berdiri di depanku ini bukanlah Wilujeng Rahayu melainkan Larasati Pratiwi. Iya, ada rasa yang ganjil jika perempuan yang memakai baju kurang bahan itu bukanlah Wilu. Dahulu jika Wilu yang menggodaku terlebih dulu, aku tak akan segan untuk melakukan pergumulan sampai pagi. Menghabisinya sampai perempuan itu berkali-kali meneriakkan namaku.

"Mas..."

Panggilan dari Laras menyentak lamunanku. Aku menggeleng samar mengenyahkan bayangan mantan istriku dari otakku yang sedang bernarasi liar.

Aku mendekat ke arah Laras. Memeluk perempuan itu dengan erat. Mencoba menghapus rasa bersalahku karena masih memikirkan Wilu. Padahal Laras sudah berusaha sejauh ini menanggalkan harga dirinya untuk lebih dulu menggodaku.

Aroma citrus bercampur wangi bunga melati yang menguar dari tubuh Laras langsung menyapa indra penciumanku.

"Wangimu enak" Pujiku pada perempuan yang sekarang telah sah menjadi istriku.

Pipi Laras merona merah. Ia memebenamkan wajah malunya ke dalam dekapanku. Jari-jari tangannya mulai bergerak pelan membuat coretan abstrak untuk menggodaku.

Namun aku menahan tangan Laras ketika ia ingin membuka kancing bajuku yang teratas "Jangan hari ini Ras. Maaf, aku benar-benar lelah. Kerjaanku banyak dan aku lagi butuh istirahat"

Seketika raut kecewa di wajah Laras tergambar jelas di mataku. Aku sadar jika penolakanku malam ini sangat melukai harga dirinya.

Perempuan itu sudah rela merendahkan martabatnya hanya demi untuk menggodaku terlebih dahulu. Tapi dengan kurang ajarnya aku justru malah menolak perempuan manis itu.

Aku mencium lembut puncak kepala Laras untuk menghargai usahanya seraya mengulang permintaan maafku.

"Kita tidur ya..." Kataku sambil menatap matanya yang terlihat sendu. Aku meninggalkan Laras lalu berjalan menuju tempat pembaringan.

Aku merebahkan tubuhku yang lelah ke permukaan ranjang lalu menarik selimut sampai sebatas dada. Sebelum terpejam, kulihat Laras masih setia berdiri-- mematung di tempatnya semula. Dia tidak bergerak sedikitpun.

Aku memperhatikan Laras lebih seksama. Tubuh perempuan itu bergetar menandakan ia sedang menumpahkan tangisnya. Tidak tersedu namun isakan kecilnya sampai terdengar di runguku.

Aku beranjak bangun dari ranjang lalu dengan cepat menenangkannya. Menariknya dengan lembut lalu mendudukannya di sofa yang ada di kamarku.

"Maaf mas..." ucapnya terputus karena ia mencoba mengeluarkan kata di tengah isakannya.

"Maaf kalau aku kurang cantik dari mantan istri kamu. Maaf kalau aku kurang menarik dari Wilu. Aku hanya pengen buat kamu ngeliat aku dan jatuh cinta sama aku. Aku pengen buat kamu bahagia karena aku pengen segera ngasih kamu keturunan" Laras mengusap air mata yang terus berjatuhan di pipinya dengan kasar.

Aku turut serta menghapus jejak-jejak air mata istriku itu menggunakan jari-jariku "Ras please jangan nangis lagi ya. Aku yang salah. Aku yang harusnya minta maaf sama kamu"

"Aku menolak bukan karena kamu ga cantik atau ga menarik Ras. Cuma hari ini aku beneran lelah. Aku minta maaf ya. Kamu mau kan maafin aku dan ga marah lagi?" Ucapku berusaha membujuk Laras.

Laras mengiyakan dengan mengangguk kecil meskipun raut kecewa masih begitu jelas kentara di wajahnya. Setidaknya tangis Laras sudah merada dan hal itu turut serta sedikit mengurangi beban rasa bersalahku.

Serpihan Hati (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang