30. Akhir Cerita

365 41 1
                                    

Queenland, Australia

Alvaro Putra Morino. Lelaki kecil berusia empat tahun itu terlihat asyik bermain pasir di bibir pantai. Sedangkan tak jauh darinya, kedua orang tuanya hanya memantau karena lelah setelah menemani bocah itu bermain. Sang ibu menerawang jauh sambil menatap putranya. Mencari kata yang pas untuk disampaikan pada sang suami. Sudah cukup mereka mengasingkan diri selama hampir lima tahun di negara kangguru. Selain untuk mengembangkan bisnis, alasan Adit memboyong istrinya ke negara itu untuk menghindari keluarganya. Bukan Risa tak betah tinggal di negara itu bersama suami dan anaknya, melainkan dia iba dengan ibu sang suami yang ingin melihat cucunya. Cucu semata wayang mereka, karena Anita belum bisa memberikan mereka cucu. Justru rumah tangga putri sulung mereka berantakan karena pihak ketiga.

"Aku rasa sekarang sudah cukup untuk kita bersembunyi di sini dari keluargamu. Kita harus kembali ke Bali, Sayang." Risa memulai obrolan dengan nada sehalus mungkin.

"Aku masih ingin di sini," balas Adit tenang. Sudah beberapa kali sang istri mengungkit hal itu, namun ditolaknya dengan alasan beragam. Adit memang lebih tenang di tempat itu.

"Varo, sudahi bermainnya, Nak. Hari sudah sore." Risa beranjak dari tempat duduk. Walaupun kembali kecewa, dia tetap menunggu dan berharap sang suami berubah pikiran.

"Varo masih ingin bermain, Mam," tolak bocah itu. Masih berkutat dengan pasir.

"Aku masuk dulu untuk menyiapkan makan malam. Jangan biarkan dia lama-lama bermain di sana karena hari sudah akan malam," peringatnya pada suami, lalu mengayun langkah untuk menuju rumah.

Adit menarik napas berat. Kabar sang mama sakit rupanya telah sampai ke telinga Risa. Tentu Risa akan terus membujuknya tentang hal itu. Ia masih menimbang untuk kembali ke Indonesia atau tetap pada firasatnya jika sang mama sengaja melakukan hal itu agar bertemu dengan cucunya.

"Ayo, Alvaro, kita masuk. Hari sudah akan malam." Adit mengajak putranya untuk ke rumah.

Bocah kecil itu menurut, beranjak menghampiri sang ayah, lalu berjalan untuk ke rumah. Rumah yang mereka tempati memang dipilih Adit di bibir pantai untuk mengobati rasa rindu sang istri pada pulau Bali. Namun tetap saja, senyaman apa pun tinggal di negeri orang lebih nyama tinggal di tempat kelahiran.

***

Setelah memastikan Alvaro terlelap di tempat tidurnya, Risa kembali ke kamarnya untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah setelah seharian sibuk mengurus rumah, suami dan anak. Risa merebahkan tubuh di atas ranjang, mengabaikan sang suami yang sedang sibuk dengan laptop. Posisinya memunggungi Adit.

"Aku akan memberikan syarat kalau kita harus pulang ke Bali." Adit menutup laptop, membuka obrolan perihal permintaan sang istri.

Tubuh Risa seketika berbalik, lalu beranjak duduk. "Apa pun syaratnya, aku akan setuju."

Adit mengulurkan tangan. Respon sang istri masih bergeming. Menatap dengan teliti wajah suaminya. Curiga.

"Syaratnya bukan dari luar kita." Adit meluruskan.

Tangan Risa terulur, menjabat tangan Adit. Tentu Adit tersenyum lebar.

"Kamu setuju jika tahun depan melahirkan kembali."

"Tidak!" pekik Risa. Melepas jabatan tangan dari Adit, tetapi jabatan itu justru semakin erat.

"Kamu sudah berjanji jika akan melakukan apa saja asal bisa pulang ke Indonesia."

"Tapi tidak dengan syarat ini. Aku tidak mau lagi melahirkan!"

"Keputusanku tetap bulat dan hanya itu syaratnya."

"Apa kamu tidak kasihan padaku harus kembali merasakan sakitnya melahirkan?"

"Kamu lebih tidak kasihan pada Alvaro yang ingin memiliki adik."

Ex-Cop is My Husband (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang