2. Mama Khanza

19K 809 17
                                    

“Dua puluh juta?” Ditinggal sendirian karena Azka sudah mengikuti Tristan yang entah ke mana, pikiran Khanza semakin dipenuhi oleh nominal yang menurutnya sangat besar untuk gaji seorang babysitter. Jujur, Khanza tergiur. Tetapi juga sedikit gengsi karena harus bekerja di rumah mantan sendiri.

“Papa mana?”

Setelah sekian lama, akhirnya ada yang membuyarkan lamunan Khanza. Ia adalah Kala yang menatapnya penuh tanya.

“E … tadi udah keluar.”

“Papa pelgi?”

Khanza mulai kebingungan. “Iya.”

Anak itu menatap mainan mobil-mobilan di tangannya. “Ya cudah, Caya main cendili aja.”

Lalu bocah itu menjauh beberapa meter dari Khanza dan duduk di atas lantai. Mulai memainkan mobil-mobilannya sendirian. Dia sama sekali tidak menangis seperti kebanyakan anak yang pernah Khanza kenal. Agaknya Kala memang sudah biasa ditinggal sendiri oleh Papanya.

“Ini mobiy Papa, ini mobiy Caya.” Kala mulai berbicara sendirian. “Papa, Papa, ayo bayapan cama Caya. Blum, blum, ciapa yang cepat campai dia yang menang. Kayau Papa menang, Papa boleh kelja telus, tapi kayau Caya menang, Papa halus temanin Caya tidul, Papa halus peyuk Caya, halus baca celita buat Caya.”

Perlahan-lahan Khanza mendekat. “Kakak mau main juga sama Kala. Boleh nggak?”

Kala mengangguk. Kemudian dia memberikan mobil-mobilan berwarna putih kepada Khanza. “Ini mobiy Akak, yang itam ini mobiy Caya dan mobiy Papa.”

Sembari menahan gemas, Khanza duduk di sebelah Kala dan mulai menemani anak itu bermain. Kala terlihat sangat senang, ia banyak tersenyum dan tertawa. Bagaimana tidak, selama hidupnya, baru kali ini ada orang yang benar-benar bisa dia ajak bermain. Selama ini Kala memang punya pengasuh, tetapi kebanyakan dari mereka hanya peduli kepadanya ketika Tristan ada. Saat Kala sendirian seperti ini, mereka cenderung sibuk dengan urusannya sendiri. Mereka berani bersikap demikian karena Tristan tidak pernah mendengarkan waktu Kala mengadu. Biasanya Kala akan bercerita kepada Azka hingga pemuda itu bisa membujuk Tristan untuk memecat babysitter yang tidak bertanggungjawab itu. 

“Akak, Caya cuka main cama Akak. Akak baik, ga mayah-mayah cepelti Cus waktu itu.” Tatapan Kala benar-benar memancarkan ketulusan. Ia mengadu kepada Khanza seakan gadis itu sudah lama mengenalnya.

“Cus?” Khanza sempat kebingungan. “Oh, Sus yang jaga Kala?”

Anak itu mengangguk. “Cus celing malahin Caya, Caya juga dicubit di cini. Di pelut.”

Khanza kehilangan kata-kata. Ia tahu anak sekecil itu tidak mungkin mengada-ada.

“Caya ga mau punya Cus jaat. Caya mau Akak.”

Gadis itu masih tidak berkata apa-apa. Ia membeku karena Kala tiba-tiba memeluknya.

“Akak main telus cama Caya, ya.”

“I-iya.”

“Danji?” Anak itu mengacungkan kelingking.

Khanza meneguk ludah, memandangi kelingking yang teracung di depan wajahnya. Beberapa detik berlalu sampai ia menautkan kelingkingnya dengan kelingking Kala. “Janji.”

“Holeeee!” Anak itu berseru girang, lalu kembali memeluk leher Khanza seperti sebelumnya. “Jan ingkal danji.”

“Iya, Kala.” Khanza mengiakan karena baginya janji itu tidak berarti. Paling sebentar lagi Kala sudah lupa dengan janji mereka.

“Papa ga cuka olang ingkal danji.”

Khanza tersenyum kecut, bagaimana bisa Tristan bisa tidak suka orang ingkar janji ketika dia sendiri melanggar semua janji yang pernah ia buat di hadapan Khanza dulu.

Anak MantanWhere stories live. Discover now