Bab 32

31 7 0
                                    

Awalnya, Fuchsia hanya berlalu begitu saja

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Awalnya, Fuchsia hanya berlalu begitu saja.  Sungguh, kepalanya sudah mendidih, tapi dia masih bertanya-tanya soal perkataan Kiki tadi pagi. Semuanya terasa kohesif. Apakah Flower seperti ini, karena dia sempat egois sebelumnya? Apakah dia punya salah lain? Apakah Flower punya alasan gara-gara dirinya bersikap buruk? Dan apalagi?

Jadi, dia masih terus melangkah ke sekretariat, tetapi tubuh jangkung langsung menghadangnya di tengah-tengah pintu masuk. Fuchsia mundur sebentar. Begitu mendongak, Amber menatapnya datar sambil menjinjing tas miliknya. Gadis itu menarik tangannya menuju kamar mandi dengan cepat.

"Flower mana!?" tanya Amber sinis. Flower sudah pergi. Kamar mandi itu sudah kosong. Fuchsia hanya menggeleng. "Kenapa kamu diem aja? Butuh nilai gak?"

Amber menoleh padanya setelah menggertak. Dia sangat membutuhkannya. Namun, dia harus melakukan apa di hadapan Flower? Bagaimana jika ternyata itu salahnya? Sama seperti tadi pagi. Dia sering merasa paling benar juga. Terkadang. Sehingga tidak melihat sisi orang lain.

"Ya ... butuh."

"Ikut aku!" tegas Amber, memilih tidak menarik tangannya kembali. Fuchsia hanya mengikuti langkah Amber, melewati perpustakaan dan kantin belakang, sehingga keluar gerbang belakang kampus. Di seberangnya ada lapangan cukup luas. Lalu, menanjak sedikit, akan ada kos yang sering Flower jadikan tempat istirahat. Begitu memasuki teras kos, dia bisa melihat bahwa ada Bella dan teman perempuan sekelasnya yang lain.

Bahkan, tanpa mau melepas sepatunya, Amber langsung menginjak teras begitu saja, menghampiri mereka yang duduk di kamar kos. Berhubung kosnya berjejer langsung dan tidak harus membuat mereka melewati kamar lain, Amber merasa bebas masuk begitu saja. Toh, ini kos Bella.

"Flower!" Amber berteriak sampai tangannya harus mengepal kuat, uratnya terlihat jelas. "Cepet temuin Pak Roni!"

"Buat?" tanya Flower heran.

"Memangnya boleh se-playing victim itu ke dosen?"

"Ih, nggak!" Tatapan Flower semakin terlihat sedih, matanya berkaca-kaca saat menatap satu per satu teman kelas mereka yang mendadak heran. "Aku cuma ngajuin kesalahpahaman kemarin di kelas."

"HEH!" Amber berteriak kembali. Dia bahkan melepas sebelah sneakers putihnya hanya untuk dilempar ke dalam, hampir mengenai tubuh Flower. Sayang sekali salah sasaran. "Kamu salah. Ngaku-ngaku kerjaan orang. Terus sekarang playing victim lagi! Gak capek?"

"Apa, sih?" Flower bergerak gelisah. "Aku emang ngerjain laporannya!"

"Nggak!" Amber harus ngomong berapa kali sampai gadis itu sadar?

"Tapi aku gak salah!" Amber balas berteriak. Tatapannya semakin gelisah saat beberapa tetangga kamar mulai keluar dan sedikit mengintip. Terlihat dari jendela. "Fuchsia 'kan sering pengen kerja sendiri biar nilainya bagus sendiri."

"Gila—"

"Minimal tahu diri."

Amber sontak menoleh. Bella melongo. Gadis itu mengacungkan dua jempolnya di belakang Flower. Fuchsia akhirnya berani membuka suara. Dia tidak punya rasa sabar sebanyak itu. Namun, tidak bisa marah banyak juga. Dia harus semakin hati-hati bicara pada orang seperti Flower.

Switch-CaseDonde viven las historias. Descúbrelo ahora