5. Saat Acha Khawatir

1.6K 335 90
                                    

"Mbak, sebaiknya hubungi keluarga terdekat agar bisa dibantu,"

Acha hanya bisa mengangguk sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya meski dia masih bingung akan menghubungi siapa. Dua jam yang lalu ia dibawa ke rumah sakit oleh beberapa orang yang berada di sekitar tempatnya kecelakaan.

"Atau bisa kami bantu untuk menghubungi keluarganya, Mbak?"

Dengan cepat Acha menggeleng. "Terima kasih suster, tapi nanti saja biar saya sendiri yang menghubungi."

Terpaksa Acha menolak bantuan yang ditawarkan oleh perawat sebab dia benar-benar bingung harus menghubungi siapa. Tidak mungkin ia menghubungi keluarganya di Semarang, karena sudah pasti akan membuat mereka khawatir.

Hari ini sepulang kuliah dia mendapat sebuah kemalangan yang tidak bisa dihindari. Terlibat kecelakaan di sebuah perempatan dengan pemotor lain. Acha dari arah barat dengan kecepatan sedang bertabrakan dengan pemotor dari arah utara yang akan menyeberang ke selatan. Tidak ada lampu lalu lintas di area itu sehingga rawan terjadi kecelakaan jika para penggunanya tidak hati-hati.

Tadi, begitu sampai di rumah sakit Acha dan pemotor lawannya sempat bersitegang. Pemotor itu marah karena merasa ditabrak oleh Acha. Sementara Acha berkilah bahwa dirinya tidak membawa motor dengan kecepatan tinggi dan tiba-tiba saja pemotor itu melintas dari utara. Untungnya ada penjual bakso keliling yang sedang mangkat di area itu. Penjual itu bersaksi bahwa pemotor dari utara tiba-tiba menancap gas ketika Acha sudah berada di jarak lima meter sehingga tidak sempat menghindar. Jadi menurutnya, pemotor itu yang lebih salah karena tidak sabar menyeberang.

Setelah mendengar keterangan itu, pemotor yang menjadi lawan Acha sedikit menurunkan emosinya. Karena terdesak keadaan dia mengaku bahwa tidak melihat Acha sudah dekat. Setelah dilihat-lihat, pemotor itu memakai kacamata dengan minus tebal. Mungkin saja menang pandangannya terganggu. Atas dasar itu juga, akhirnya keduanya sepakat untuk tidak menuntut satu sama lain. Bertanggungjawab pada luka dan kerusakan motor sendiri.

Entah harus senang atau susah, tapi Acha merasa masih ada pertolongan Allah di sini. Sebenarnya, jika dia ingat-ingat, tadi dia memang tidak begitu fokus saat berkendara. Ada hal yang mengganggu pikirannya seharian ini.

Tadi malam, setelah ngaji malam selesai, salah satu mbak ndalem memberi informasi bahwa dirinya dipanggil oleh umi Sanah—sang guru. Tidak pernah terlintas di benak Acha bahwa tadi malam ia akan mendapat teguran seperti itu. Selama bertahun-tahun ngaji dengan umi Sanah, Acha tidak pernah mendapat teguran yang berarti. Paling mentok teguran karena setoran hafalannya kurang bagus.

"Mbak Acha ini termasuk santri yang seharusnya menjadi contoh. Umi seneng banget sama Mbak Acha. Umi tahu jika Mbak Acha dan Isal itu sudah kenal akrab. Bukan umi tidak suka, malah umi suka kalau misal mbak Acha dan Isal punya rencana ke arah serius. Tapi jika bisa, jangan sering bertemu di luar. Jangan diulangi, nggih?"

Sejak semalam pikiran Acha berantakan. Banyak pertanyaan yang berputar di benaknya. Siapa yang melapor, kenapa langsung sampai ke umi. Meski Acha sudah mempunyai dugaan siapa yang berpotensi melaporkannya. Acha penasaran bagaimana pelapor itu menceritakan perihal dirinya dan gus Isal sehingga umi Sanah langsung menegur sedalam itu. Lalu, bagaimana bisa umi Sanah berpikir bahwa dirinya dan Faisal punya rencana yang serius?

"Apakah mbak nya kabur dari rumah?"

Lamunan Acha terhenti saat ada seorang pemuda bertanya padanya. Pemuda itu menunggu ibunya yang sakit dan terbaring di bed sebelah Acha.

Wajah Acha mengerut. "Siapa yang kabur?" balasnya tak terima.

Pemuda itu terkekeh lalu meminta izin untuk membuka tirai penyekat antara bed Acha dan ibunya sehingga kini mereka bisa berhadapan dengan sempurna.

Hitam Putih Dunia PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang