20. Terpaksa Berjanji

1.6K 376 49
                                    

Jika dikatakan tak pandai bersyukur, mungkin Acha tidak akan mengelak karena memang dirinya seperti itu.

Sejak awal menikah, ingin sekali dibawa ke rumah suaminya.  Lalu sekarang setelah hal itu terwujud, Acha malah ingin pulang ke pondok saja sebab ia merasa waktunya tidak begitu tepat. Berada di rumah mertua, sementara dirinya dan Faisal sedang dalam keadaan tidak begitu baik.

Setidaknya begitu anggapan Acha, entah apa yang ada di pikiran Faisal.

Tadi siang, dirinya kelepasan menyinggung soal ibu kandung yang bisa saja hal itu sudah tidak pernah Faisal ingin bahas lagi. Sehingga membuat pria itu diam sepanjang hari. Hanya beberapa kali bicara ketika Acha disuruh mengambil pakaian ganti untuk dibawa ke rumah ini. Lalu sedikit berbicara lagi ketika mengajak Acha makan. Setelah itu tidak ada lagi, bahkan Acha tidak tau kemana perginya pria itu sekarang.

"Mbak Acha,"

Ketukan pintu kamar membuat Acha berhenti melamun. Ia segera beranjak untuk membuka pintu. Ternyata Nada—kakak kedua Faisal yang berdiri di sana.

"Ya, Mbak?" ucap Acha setelah pintu dibuka.

"Faisal belum pulang?"

Acha tersenyum canggung. "Belum, Mbak."

Nada menghela napas panjang. Dia terlihat sedang terburu-buru lalu memandang Acha dengan ragu-ragu.

"Ada yang bisa aku bantu, Mbak?" Acha yang cukup peka langsung menawarkan diri karena melihat Nada seperti memerlukan bantuan.

"Sebenarnya nyari Faisal, karena aku harus nidurin anakku, Mbak. Sekarang waktunya abah terapi dan minum obat. Umi masih ngaji sama-sama santri."

Bukan perkara sulit sehingga Acha menawarkan diri untuk membantu. Kebetulan dia pernah melihat Faisal menyiapkan terapi sinar untuk abahnya sewaktu mereka mampir di sini.

Acha melepas mukenanya, lalu menyimpan mushaf yang sebelumnya ia pakai ngaji setelah isya tadi. Merapikan jilbab sambil melirik jam dinding. Sudah hampir jam delapan malam tapi Faisal belum juga pulang. Meski merasa kesal karena pergi tanpa mengatakan tujuannya, Acha tetap merasa khawatir apalagi di luar sedang hujan.

Mengesampingkan pikiran tentang Faisal, Acha bergegas ke ruang tengah. Di sana ada sebuah ranjang yang memang khusus disediakan untuk abah yang biasa terapi di situ.

"Acha bantu ya, Bah." ucap Acha ketika melihat mertuanya sudah berada di ruang tengah rumah itu.

"Faisal belum pulang, Nduk?"

Acha menggeleng sambil tersenyum. Ia membantu memegang kursi roda agar tidak bergeser ketika mertuanya itu sedang berusaha pindah ke tempat tidur.

"Alhamdulillah," ucap Khalid ketika sudah berhasil duduk di tepi tempat tidur.

"Minum obat dulu ya, Bah?" Acha mengambilkan air minum lalu menyodorkan dua tablet obat yang telah ia kupas.

Setelah minum obat, perlahan Khalid angkat kakinya yang belum bisa bergerak sempurna dengan tangan lalu berbaring. Ia memperhatikan Acha ketika menantunya itu menyiapkan alat terapi.

Tepat ketika alat yang diarahkan ke kakinya itu menyala warna merah, Khalid bertanya, "Faisal keman, Nduk?"

Acha yang baru saja duduk menjadi berpikir. Lalu alih-alih memilih jawaban jujur jika dia tidak tahu kemana Faisal, Acha lebih memilih jawaban aman, "Tadi cuma mengatakan ingin keluar, Bah."

Namun meskipun jawabannya aman, abah Khalid lebih hafal dengan sikap anaknya.

"Apa dia membuat kesalahan?"

Hitam Putih Dunia PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang