11. Darah Biru

1.4K 361 96
                                    

Berita tentang perjodohan Gus Isal dan Mina nyatanya bukan isapan jempol biasa. Jika beberapa waktu lalu Irul menyebutnya baru 60 persen kebenarannya, mungkin saat ini sudah menjadi 80 persen. Tapi itu anggapan Acha, dilihat dari topik utama di asrama yang belum berganti, ditambah dengan pindahnya Mina ke kamar lain.

Kemarin, sepulang kuliah tiba-tiba Acha merasa ada sesuatu yang berbeda di kamarnya. Biasanya ada empat orang penghuni kamar itu. Namun setelah ia perhatikan dengan seksama, lemari Mina tidak ada lagi di sana. Kayu panjang di atas yang biasanya dipakai Mina untuk menggantung baju-baju yang sudah disetrika juga terlihat kosong. Pun dengan meja, kasur lipat dan barang-barang lain, semua tidak lagi ada di sana.

"Mbak Mina pindah ke kamar bawah, Mbak Acha. Mungkin agar lebih dekat jika nanti mau pindahan ke rumah gus Isal."

Itu lah jawaban yang diberikan salah satu teman kamarnya ketika Acha bertanya.

Bukan hanya sebatas itu. Acha juga merasakan bahwa semakin hari Mina semakin terlihat menghindari nya. Mereka jarang bertemu, kecuali jika waktu ngaji, berada dalam satu mushola itupun duduknya tak pernah lagi berdampingan. Padahal, dulu Mina adalah patner nderes nya. Bukankah semuanya terasa terbalik? Seharusnya Acha yang lebih berhak menghindar, Kenapa seolah Acha yang salah di sini?

Acha menekan tombol keluar di ponselnya sehingga layar yang awalnya menampilkan quran digital itu kini berganti dengan gambar kucing lucu yang ia ambil dari pinterest.

Biasanya Acha akan menggunakan waktu istirahat nya untuk bermurojaah barang sebentar, minimal satu juz. Dan siang ini pun ia paksa, meski kepalanya terasa benar-benar pusing.

"Cha, ini punyamu ketinggalan!"

Seorang gadis berjalan ke arah Acha sambil membawakan buku catatan Acha yang tertinggal di kelas.

"Makasih, Lin. Aku lupa."

Gadis bernama Lintang itu mencibir. "Lupa kok tiga kali sehari,"

Acha hanya bisa meringis karena ucapan temannya itu benar. Lintang inilah orang yang sering membantunya ketika ada tugas mendadak dan Acha sedang tidak memegang ponsel di pondok.

Lintang juga ikut duduk di bawah pohon itu. Dia membuka laptopku untuk melanjutkan tugasnya.

"Lin, di pondok mu enak nggak suasananya?"

Lintang mengalihkan pandangan. "Enak dan tidak. Kenapa?"

Acha membuang jauh pandangannya ke depan. "Pengin ganti suasana pondok."

Mendengar jawaban Acha, Lintang tak ragu untuk tertawa. Rasanya aneh saja dengan jawaban itu. Lintang juga seorang santri, namun hanya di pondok kecil yang ia yakin tak banyak orang yang tau. Seluruh santri nya mungkin hanya sekitar lima belasan orang.

"Nggak usah mikir aneh-aneh. Udah bener kamu di an nadwah. Pondokku cuma kecil, di sana apa-apa terbatas. Makan cari sendiri, jauh dari jalan raya, sering mati listrik. Air juga sering kehabisan."

"Kok kamu betah? Berarti tidak seburuk yang kamu ceritakan."

Lintang menghela napas. "Pokoknya percaya aja padaku, nggak usah pindah. Tapi kalau kekeh mau pindah, ya cari pondok lain aja."

Acha tak menanggapi lagi. Sebenarnya dia sendiri juga masih ragu. Tiba-tiba saja keinginan pindah itu muncul. Jika ditanya alasan, jelas karena Mina dan Faisal. Bohong jika Acha katakan kuat melihat mereka. Terlebih lagi, terselip sebuah pengkhianat dalam masalah mereka. Namun jika pindah, itu artinya dia akan tambah kalah dari Mina. Tidak rela sekali Acha kalah dari seseorang seperti Mina.

"Acha!!"

Meski Lintang bukan pemilik nama itu, tapi dirinya ikut menoleh ketika ada orang memanggil.

Hitam Putih Dunia PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang