27. Marahnya Acha

1.5K 383 40
                                    

"Serius pak Beni kena stroke, Lin?"

"Serius, Cha. Kamu nggak baca grup semalam?"

Berita yang cukup membuat Acha syok. Selain turut prihatin dengan kondisi salah satu dosennya itu, Acha juga mengkhawatirkan nasib skripsinya yang baru saja akan dimulai. Dan kebetulan sekali, pak Beni adalah salah satu dosen pembimbing nya yang paling baik dan mudah ditemui. Pak Beni juga yang ia anggap sebagai penyumbang masukan terbesar sehingga kini dia sudah mendapatkan judul yang pasti dan sedang menyiapkan proposalnya.

Lantas Acha membuka chat teman-teman sekelasnya. Benar ada ratusan chat yang ia lewatkan semalam ketika mereka membahas kondisi pak Beni. Semalam dia masih dalam aksi banyak diam pada Faisal karena masalah dua hari yang lalu perihal orang-orang asing yang bermunculan dan mengaku menjadi pahlawan untuk masa kecil Faisal.

Karena hal itu juga, dua hari berturut-turut Acha selalu tidur awal tanpa berkomunikasi apa-apa pada suaminya terlebih dahulu. Membiarkan suaminya masih sibuk dengan pahlawan masa lalunya karena Khansa masih menginap di sana.

"Oh iya, beneran. Kasihan pak Beni, kasihan juga nasib skripsi ku gimana ini. Baru juga mau mulai." gumam Acha sembari memanjat ratusan chat di ponselnya.

"Nah itu juga yang semalam pada ribut. Soalnya kan dari kelas kita, lumayan juga yang dipegang pak Beni skripsinya." jawab Lintang.

"Aduh, mana pembimbing ku yang satunya susah banget ditemui,"

Lintang menepuk pundak Acha turut prihatin sementara dia aman-aman saja karena dosen pembimbingnya lain. Lalu beberapa saat kemudian, chat di ponselnya kembali berdatangan. Salah seorang teman sekelasnya mengirim informasi tentang peralihan dosen pembimbing yang semula dipegang pak Beni.

"Wah, Cha, kamu dapat ganti pak Iqbal." pekik Lintang yang ikut menyimak menggunakan ponsel sendiri. "Beliu mudah juga kok ditemui, ganteng lagi!"

Acha mencebik ke arah Lintang. Bukan itu fokus utamanya. Meski mendapatkan ganti dosen pembimbing yang lebih muda dan sama mudahnya, tapi tetap saja rasanya harus menyesuaikan ulang. Ditambah Acha sudah merasa senang konsultasi dengan pak Beni.

Kemudian Acha beranjak menuju ruang dosen karena informasi selanjutnya mengatakan bahwa semua mahasiswa yang bimbingannya pindah ke pak Iqbal diminta untuk menemuinya hari ini juga.

Di sela Langkahnya menuju ruang dosen, Acha merasakan ponselnya bergetar. Panggilan masuk dari Faisal yang sengaja dia abaikan. Masih terlalu malas untuk berkomunikasi dengan suaminya itu karena nanti ujung-ujungnya dia hanya akan mendapat nasehat panjang lebar dari suaminya itu. Yang harus sabar lah, yang jangan terlalu berpikir macam-macam lah, yang tenang lah. Intinya Acha sedang tidak ingin mendengar itu karena poin kekesalannya bukan tentang hal-hal itu, melainkan tentang ketidak-tahuannya tentang masa lalu Faisal secara detil. Ditambah suaminya itu yang selalu menjawab seadanya, seolah memang tidak terjadi apa-apa di masa lalu nya.

Ya mungkin memang bukan sesuatu yang penting untuk diceritakan. Tapi apapun itu, penting tidak penting, Acha tetap ingin dengar.

Begitu sampai dia ruang dosen, tepatnya di ruang pak Iqbal, ternyata sudah ada dua mahasiswa yang antri untuk bimbingan sehingga mau tidak mau dia juga ikut antri.

Di saat itu, kembali ponselnya bergetar. Bukan panggilan melainkan sebuah pesan dari Faisal.

Selesai jam berapa? Nanti saya jemput.

Acha juga belum berminat membalas pesan itu. Tadi dia berangkat sendiri dengan motor tanpa pamit. Faisal berangkat kerja, lalu dirinya juga pergi. Entah dari mana suaminya itu tahu jika dirinya sekarang berada di kampus.

Karena tidak kunjung dibalas oleh Acha, ponsel itu kembali bergetar menampilkan layar panggilan dari suaminya lagi. Merasa ponsel itu mengganggu untuk saat ini, Acha memilih menekan tombol power sehingga ponselnya menjadi non aktif.

Hitam Putih Dunia PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang