Tamu Penting

104 16 2
                                    

"Wah, ini putrinya juga, Pak? Cantik-cantik, ya?" puji Wicaksono sembari menatap kagum pada gadis muda berkerudung sederhana yang tengah menyuguhkan minum ke mejanya.

"Ah, bukan. Kalau Naina ini anak pembantu kami." Riswan merespons di luar prediksi.

Melunturkan senyum di wajah Naina, anak kandung tunggalnya yang kini tidak diakui.

"Oh, anak pembantu rupanya." Wicaksono melirik ke arah pemuda bertopi yang berdiri tak jauh dari posisinya.

Pemuda itu mengenakan kacamata persegi serta memiliki tompel besar di pipi, yang tadi mengawalnya masuk dan diakui sebagai sopirnya.

"Saya jadi makin kagum. Pak Riswan ini baik sekali orangnya. Anak pembantu pun diizinkan tinggal di sini." Wicaksono lalu menambahkan sambil tersenyum lebar kepada Riswan.

"Ya, saya hanya kasihan karena kebetulan pembantu saya ini janda. Daripada anaknya disuruh ngontrak, kan lebih baik tinggal di sini sekalian. Bisa menghemat biaya hidup juga mereka. Lagipula, Naina ini tunawicara. Akan repot kalau tinggal sendirian di luar sana." Riswan kian lancar membual.

Sehingga Naina yang selesai menyuguhkan minum memilih segera undur diri. Tak ingin semakin dilukai.

Gadis cantik sembilan belas tahun itu setengah berlari saat menuju pavilion di belakang rumah megahnya yang dikhususkan untuk para pembantu, dan masuk ke dalam kamar yang sudah setahun ini dia tempati.

Tepatnya, semenjak keluarganya pindah ke rumah baru itu dan kedua saudari tirinya tak berhenti merengek kepada ayahnya agar menempatkan Naina di pavilion saja. Bersama dengan para pembantu.

"Non, kenapa kamarnya dikunci?" panggil Lasmi—pembantu senior berusia lima puluh tahun yang sudah ikut mengasuh Naina sedari kecil—sambil mengetuk pintu kamar usai melihat anak majikannya itu berlari ke dalam sambil menangis.

"Jangan nangis sendirian lagi, Non. Bukain pintunya. Bibi temenin." Lasmi coba membujuk, tetapi pintu itu tetap tidak dibuka. Bahkan suara isakan pun tak terdengar dari dalam sana.

Lasmi menebak, saat ini Naina pasti sedang membekap wajahnya dengan bantal. Sebab gadis penurut dengan wajah mungil berkulit bersih itu memiliki kebiasaan seperti itu setiap kali menangis semenjak kedua orang tuanya bercerai.

Ya, Naina yang malang. Naina yang sebenarnya bisa bicara tapi tidak pernah mau bicara lagi semenjak saat orang tuanya berpisah, sehingga sering dianggap tunawicara dan diledek sebagai si bisu.

Terutama oleh mama dan kedua saudari tirinya.

Belakangan, entah mengapa Riswan juga ikutan tak menyukai anak kandungnya itu. Bahkan hari ini dia sampai terang-terangan enggan mengakuinya sebagai anak di depan tamunya.

Padahal, Naina anak yang baik.

Sekalipun kerap diperlakukan tidak adil di rumahnya sendiri, tidak pernah sekali pun dia terlihat menunjukkan sikap kasarnya.

Barangkali, Riswan yang telanjur dibutakan oleh pesona istri barunya itu jadi tidak bisa melihat kelebihan putrinya sendiri. Sehingga bukannya membela Naina jika istri dan kedua anak tirinya mulai memojokkan, tetapi dirinya sendiri pun malah ikutan melukai perasaan Naina dengan sengaja.

"Non, saya buatin mi goreng, ya? Jangan nangis lagi. Nanti kalau saya ngantar minya ke sini, Non harus bukain pintunya. Kalau enggak, Bibi akan nekad manjat lewat jendela. Terus, kalau Bibi jatuh, Bibi harus pulkam, Non nggak punya teman lagi deh."

Hanya Lasmi yang peduli padanya.

Dia adalah pembantu yang sudah bekerja pada keluarga Riswan semenjak pria itu masih bersama Nina, ibunda Naina.

Cinta untuk si BisuWhere stories live. Discover now