Pucuk Dicinta

37 10 2
                                    

Sebelum Naina sempat menjawab dengan bahasa isyarat, Husein melambaikan tangan lemah dan meminta dokter Airul untuk mendekat padanya supaya ia bisa membisikkan sesuatu.


"Gadis itu bukan siapa-siapa. Sepertinya juga nggak bisa bicara," kata Husein pelan. 


Dokter Airul menoleh ke arah Naina dan gadis itu mengangguk membenarkan. Sebab telinga Naina masih bisa mendengar dan memahami penuturan Husein kendati kakek itu berbicara dengan suara tak jelas akibat rasa sakitnya.


"Bilang saja ke Ais kalau sudah datang nanti, suruh anterin dia pulang, atau kasih ongkos buat naik taksi." Husein menambahkan yang oleh dokter Airul kemudian diangguki.


Lantas, dokter jaga berusia kisaran empat puluh tahun itu meminta Naina untuk menunggu di luar, di ruang tunggu. "Kamu jangan ke mana-mana dulu. Tunggu di sini sampai dokter Ais datang."


Dokter Airul memerintahkan dan segera kembali masuk sebelum Naina sempat menjawab.


Padahal Naina inginnya langsung pamit saja karena waktu sudah menunjukkan pukul enam sore dan dia harus segera melaksanakan salat magrib.


Akan tetapi karena sudah telanjur ditinggalkan, Naina pun kemudian berjalan mencari bangku kosong di depan UGD dan menunggu sosok yang tadi disebutkan dokter Airul.


"Kenapa nama Ais terdengar nggak asing ya? Apa dia orang yang sama dengan Ais yang dikenal oleh Kak Vita?" Naina membatin dalam kesendirian dan tersentak kaget saat tiba-tiba hujan turun dan dengan begitu cepat menjadi sangat deras seolah seluruh air ditumpahkan dari atas langit.


Naina pun reflks bangkit dari bangku tunggu dan berdiri menatap hujan dengan pandangan panik.


Dia sudah mengatakan pada Siti bahwa tidak akan lama-lama. Dan saat ini, kedua pembantu setia itu pasti sudah khawatir karena ia tak juga kunjung kembali.


Sayangnya, ketika Naina berniat untuk mengirimkan pesan kepada mereka agar tidak cemas, ponsel Naina malah tak bisa digunakan karena telah kehabisan daya.


"Ya Allah, apesnya aku hari ini... Kenapa pakai kelupaan nge-charge juga tadi?" Naina membatin kecewa sambil memasukan kembali ponselnya ke dalam saku jaket.  


Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan, bahkan sekadar memesan taksi daring. Sementara itu, waktu terus berjalan. 


Berulang kali Naina mondar-mandir sambil memperhatian jam digital yang terdapat di dalam ruang UGD. Dan kian menjadi resah. 


Waktu magrib semakin menipis, tapi sosok yang harus ditunggunya tidak kunjung datang dan Naina mulai tak sabar untuk tetap berdiam diri di sana.

Cinta untuk si BisuWhere stories live. Discover now