Aku melihat kondisi diriku di cermin. Sangat berantakan. Benar-benar berantakan. Rambutku acak-acakan, wajahku kusam, pipiku berwarna merah dan ada beberapa luka di tangan dan tubuhku.
"Dayana, lo nggak apa-apa?" tanya Sasha.
Ia tadi membawaku ke ruang kesehatan dan aku sudah diobati.
Aku mengangguk kecil. Aku masih mengunci mulutku rapat-rapat karena aku pastikan jika aku membuka mulutku sekarang, aku pasti tidak dapat menahan air mataku.
"Padahal lo yang 'menang', tapi kenapa kelihatannya lo yang lebih parah dan lebih berantakan dari cewek nggak jelas itu? Lihat tuh pipi, rambut, muka, sama tangan lo" Sasha memandangiku melihat kondisiku yang sepertinya kacau.
"Kok lo bisa berantem gitu sama dia?" tanya Sasha lagi.
Aku masih belum mau membuka mulutku, sedangkan Sasha dengan sabar mendekat ke arahku dan menepuk-nepuk punggungku untuk menenangkanku.
"Kalo lo belum mau cerita nggak apa-apa, gue nggak maksa. Tapi gue udah bisa menduga apa yang terjadi sebenernya"
Aku masih terdiam, menatap sahabatku itu. Haruskah aku menceritakannya. Masalahnya bukanlah soal apa yang terjadi, masalah sebenarnya adalah aku yakin air mataku akan luruh ketika aku membuka mulutku sekarang.
Namun, nampaknya Sasha benar-benar khawatir karena ekspresi wajahnya tidak seperti biasanya yang siap meledekku. Ia terlihat lebih serius seakan siap mendengarkan seluruh keluh kesahku.
Aku pun akhirnya memutuskan menceritakan semuanya dari awal aku makan sendirian hingga akhir, dan benar saja setelah satu kata keluar dari mulutku, air mataku lolos begitu saja. Namun, aku tidak berhenti dan terus menceritakan apa yang dikatakan dan dilakukan Ralon padaku dengan air mata yang masih mengalir. Aku tidak tahu kenapa aku bercerita sambil menangis padahal aku waktu kejadian disana tadi terlihat sangat berani tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Setelah berhasil menceritakan semuanya, Sasha hanya menatapku speechless.
Kemudian dia terlihat marah-marah sendiri dan mengeluarkan kata-kata kasarnya yang ia tujukan pada Ralon.
Setelah puas mengumpat, Sasha kembali melihat ke arahku dan memegang kedua pundakku.
"Kasihan, temen gue jadi berantakan gini" ucapnya. Sepertinya ia mau mencairkan suasana. Namun, suasana hatiku sedang sangat-sangat buruk, sehingga aku hanya berusaha tersenyum tipis untuk menanggapinya.
"Tapi bagus Dayana, dengan tubuh lo yang...." Sasha menatapku dari atas hingga ke bawah, "yaa, yang lemah ini, yang kalau mukul gue atau Kai, sakitnya cuma kerasa kayak digigit semut, yang kalau olahraga selalu ngos-ngosan, jatuh dikit lebam, ini udah suatu kemajuan" Sasha kembali bercanda padaku dengan perumpamaan yang dilebih-lebihkan, tapi kali ini membuatku benar-benar tersenyum.
Kemudian Sasha melirik ke arah pipi dan tanganku.
"Jangan takut, Dayana. Luka lo ini adalah luka kemenangan. Walaupun lo cuma berani teriak lewat mulut doang, tapi tadi adalah gerakan yang mematikan ketika lo ngejambak akar kepalanya dari arah belakang. Sangat berkualitas" ucapnya lagi sambil bertepuk tangan kecil.
Entah kenapa sekarang perasaan campur aduk yang tadinya aku alami sepertinya berubah menjadi perasaan ingin menempeleng Sasha. Namun, aku menggeleng-gelengkan kepalaku mengusir pikiran itu.
"Tenang Dayana, lo pasti bisa ngalahin cewek lenjeh itu. Gue selalu mendukung lo buat menang di setiap pertandingan dengannya" ucap Sasha lagi.
"Apa?" Aku dengan moodku yang sepertinya sudah mulai sedikit membaik akibat perkataan-perkataan Sasha, mulai menanggapi celotehannya "Maksudnya gue disuruh tanding dan berantem mulu sama dia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DAYANA
Teen FictionDayana dan Kaivan saling kenal sejak SMP, tetapi sekarang sepertinya perilaku Kaivan semakin menjadi-jadi. Kenapa sih dia selalu mengganggu Dayana? Namun, semakin lama Dayana merasakan ada yang aneh. Sepertinya sifat Kaivan yang ia tunjukkan bukanla...