Aku membuka mataku. Hal yang pertama kali aku lihat adalah langit-langit yang benar-benar berbeda dengan langit-langit kamarku. Aku pun mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Ini jelas bukan kamarku. Ruangan besar dengan kasur empuk nan lembut ini tentu saja bukan milikku. Belum sempat aku menyadari apa yang sebenarnya terjadi, terdengar suara seseorang yang sangat aku kenal.
"Udah bangun?" suara milik Kaivan itu tanpa sadar kembali mengingatkanku akan kejadian tadi malam. Tanpa kusadari tanganku tiba-tiba saja kembali gemetaran. Kejadian menyeramkan itu masih terngiang-ngiang di kepalaku.
Kaivan mendekat ke arahku sambil membawa segelas air dan sepiring makanan.
"Makan dulu" ucapnya. Ia nampak seperti biasa. Ia benar-benar normal, tidak ada keanehan yang dapat kulihat dari dirinya saat ini. Mata cokelatnya, rambutnya, wajah tampannya, semuanya terlihat seperti dirinya biasanya.
Namun, melihatku yang bukannya berada di rumahku sendiri melainkan di kamar antah berantah yang tidak tahu milik siapa ini, membuatku menyadari bahwa kejadian malam tadi bukanlah mimpi.
Aku memperhatikan gerak-gerik Kaivan dengan was-was takut dia akan melakukan hal aneh lainnya.
Dia kemudian mendekatiku, membuatku secara otomatis langsung memundurkan badanku. Dengan segera Kaivan menahan tubuhku agar tidak terjatuh karena ternyata posisiku sudah berada di pinggir kasur.
Jantungku rasanya masih berdegup kencang. Kaivan menatapku sebentar, lalu mengambil sebuah kursi dan meletakkannya di samping kasurku.
"Makan" perintahnya. Namun, aku masih terdiam sama sekali tidak mau mengambil makanan ataupun minuman yang ia berikan.
"Makan, Dayana" tekannya lagi.
Suara Kaivan yang terus memaksa membuatku akhirnya menuruti perkataannya. Aku pun memakan makanan yang diberikan Kaivan sembari menahan air mata di pelupuk mataku.
Sementara Kaivan, ia hanya duduk di hadapanku sambil memperhatikanku lamat-lamat. Ia sama sekali tidak melepaskan pandangannya dariku barang sedetikpun.
Di pertengahan makan, ia mengarahkan tangannya ke arah wajahku. Kemudian mengelus pelan area sekitar mata yang ternyata sudah dipenuhi air mataku.
"Lo nangis?" tanyanya santai. Tangannya masih berusaha menghapus air mataku itu.
"Kenapa?" tanyanya yang terkesan malah seperti berpura-pura bingung.
Melihatku yang berhenti makan, dia mengambil sendok dari piringku dan berusaha menyuapiku.
"Makan Dayana" tekannya lagi. Namun, aku menutup mulutku rapat-rapat. Jantungku berdetak dengan cepat. Aku takut. Lagipula air mataku sudah terlanjur jatuh. Mana bisa aku makan dengan situasi seperti ini.
Melihatku yang masih diam saja, ia mendekat ke arahku, meletakkan kembali sendok berisi makanan itu dan beralih ke garpu yang juga berada di sana.
Tanpa aba-aba ia mengangkat daguku menggunakan garpu yang ia pegang, memaksaku untuk melihat ke arahnya.
"Kenapa nangis mulu, Dayana. Takut?" tanyanya lagi.
Ya iyalah. Siapa yang tidak takut melihat dia yang seperti ini. Sifatnya berbeda dari biasanya dan sekarang ia menahan daguku agar tetap mendongak menggunakan garpu.
"Jawab, Dayana" titahnya sambil terus menggunakan garpu untuk memaksaku agar tetap mendongak.
"I..iya" ucapku pada akhirnya di tengah-tengah suasana yang menyesakkan ini.
"Gue nggak akan ngelakuin apa-apa asal lo jaga sikap" ujarnya santai.
"Gu..gue nggak akan bilang siapa-siapa, Kai" ucapku lagi pada Kaivan yang masih terus memandangiku dengan senyuman tipis beserta tatapan tajamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAYANA
Teen FictionDayana dan Kaivan saling kenal sejak SMP, tetapi sekarang sepertinya perilaku Kaivan semakin menjadi-jadi. Kenapa sih dia selalu mengganggu Dayana? Namun, semakin lama Dayana merasakan ada yang aneh. Sepertinya sifat Kaivan yang ia tunjukkan bukanla...