CHAPTER 31: THE END OF A WOUND

648 79 10
                                    

Rebecca sibuk dengan berkas didepannya sembari sesekali menghela nafas berat. Ia merenggangkan seluruh otot ditubuhnya saat rasa kantuk dan bosan menyerangnya.

Matanya melirik meja Ariana, si Bos yang sedang keluar bersama Clara. Mereka sedang ada urusan bertemu klien dan Rebecca tentu harus bekerja dikantor karena sekretaris aslinya sudah kembali.

Rebecca sedikit bersyukur karena Ariana kebanyakan dinas diluar selama beberapa hari. Ia jadi tak terlalu memaksakan diri berpura-pura baik-baik saja didepan pacarnya itu.

Karena berpura-pura bahagia dan membalas semua perlakuan Ariana menjadi hal yang mulai memuakkan baginya. Kepura-puraan dan berujung kejenuhan. Belum lagi ia yang harus menjaga sikap ketika ada Clara.

Ia meraih handphonenya yang bergetar diatas meja. Telepon dari Clara. Kedua sudut bibir Rebecca terangkat bersamaan dengan jarinya yang menggeser ikon terima telpon di handphonenya.

"Hai"

"Halo, kak? Lo dikantor?", suara riang Clara terdengar seperti biasa. Sejak kejadian malam itu, keduanya mulai akrab dan semesta sungguh membantu hubungan mereka.

"Iya, kenapa?"

"Turun gih, gue tunggu di depan kantor"

"Lo dimana?", Rebecca menautkan alis dan mencuri pandang keluar jendela. Ia tak menemukan mobil Clara di sekitaran halaman gedung.

"Gue udah deket, kita makan siang yuk"

"Sama Bos?"

"Ngga, kita berdua aja"

"Kak Nana kemana?", tanya Rebecca sedikit penasaran.

"Tadi dia bilang ada urusan"

"Urusan apa?", kali ini nada pertanyaan Rebecca terdengar lebih pelan dan penuh selidik.

"I don't know, kak. Urusan pribadi mungkin. Soalnya jadwal kerjanya ga ada lagi sore ini"

Rebecca mengepalkan tinjunya geram. Ia mulai membayangkan semua hal buruk yang mungkin saja Ariana lakukan. Bertemu Audy, misalnya. Ah, sudah pasti begitu.

"Mau makan siang dimana?"

"..."

"Kak? Masih dengerin gue kan?"

Suara Clara yang agak keras membuat Rebecca membuka mata dan bayangan buruk tadi raib dari otaknya.

"Eh iyaa...

"Kita makan siang berdua aja, mau ga?", tawar Clara yang diangguki oleh Rebecca meski Clara tak bisa melihatnya.

Ia mengambil tas nya diatas meja dan berjalan keluar ruangan menuju lift. Rebecca berusaha mati-matian mengontrol akal sehatnya agar tak bereaksi apapun. Meski kini nyatanya dalam otak dan hatinya sudah bergemuruh seolah badai besar dan kesabaran nya akan meledak siap meluluhlantahkan siapapun.

Ia meremas besi pegangan di dalam lift mencoba mensugesti diri. Rebecca mengangguk yakin dengan cara ini ia berhasil bertahan cukup lama. Apa sudah sebulan? Mungkin lebih. Jika ia berhasil bertahan selama ini, maka tak seharusnya ia mengamuk sekarang.

"Aissshh SIALAN!", maki Rebecca sendiri.

Ia menghentakkan ujung heels nya ke lantai lift dan merogoh handphonenya dari dalam tas. Dengan perasaan tak karuan ia mencari kontak Ariana yang tak begitu sulit ia temukan.

Nada tunggu terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara Ariana terdengar. Rebecca menajamkan pendengarannya saat sambungan telepon dengan Ariana terjadi.

"Halo?"

Sapaan kesekian yang baru Rebecca dengar. "Iya"

"Aku lagi diluar, sayang. Ada meeting sama klien. Kenapa?", tanya Ariana diseberang telepon.

THESIS 2: CAN LOVE BE THE ANSWER?Where stories live. Discover now