Prologue

4.2K 170 4
                                    

I'm here. Because I like them, I want to write about them

Pavel as ( Padmanara Narendra )

Pooh Krittin as ( Prastara Kristin )

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pooh Krittin as ( Prastara Kristin )

Pooh Krittin as ( Prastara Kristin )

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

2019.

Dalam keheningan dini hari, pukul setengah satu, pria itu duduk tanpa keinginan untuk beranjak. Asap rokok melingkar di sekelilingnya, sementara matanya memandang ke kejauhan dengan tatapan kosong. Dalam momen ini, terasa seperti ada beban berat yang ia pikul, seolah-olah hidupnya adalah langkah-langkah yang terlalu sulit untuk dijalani.

Namun, jangan biarkan penampilannya menipumu. Di arena balap, pria ini adalah kekuatan yang tak terhentikan. Seperti seekor kuda yang dilepaskan di padang gurun, dia adalah pembalap handal yang memacu batas kecepatan. Keputusasaannya di kehidupan sehari-hari berubah menjadi hasrat dan semangat di atas lintasan, di mana dia adalah raja yang menaklukkan setiap tikungan dan lurus dengan ketangguhannya.

Mungkin rokok yang dihisapnya adalah pelarian dari kenyataan yang sulit, atau mungkin ia mencari keheningan dalam asap yang memenuhi udara. Yang pasti, di balik citra putus asanya, terdapat kisah penuh kontradiksi dan dualitas, menunjukkan bahwa kehidupan seseorang tak selalu dapat diukur dari apa yang terlihat di permukaan.

"Loh, Naren kenapa belum pulang?" tanya seseorang tiba-tiba, menghampiri. Naren menoleh dengan tatapan datar, seolah tak terpengaruh. Tanpa berkata apapun, dia melanjutkan acara merokoknya, seolah rokok adalah teman setianya yang lebih mengerti daripada kata-kata. Suasana hening, hanya diiringi suara hisapan dan asap yang bergulung di udara malam.

"Ren?"

"Diam, pergilah Nan. Aku sedang tidak memiliki suasana untuk berbicara," respon Naren dengan kesal, matanya menatap sinis ke arah orang di sampingnya.

Nan, orang yang dipanggil oleh Naren, terdiam. Di dalam hatinya, ia ingin tetap bersama Naren, namun kehadiran kekasihnya menunggu membuatnya merasa terjebak. Dengan rasa tidak enak, Nan terpaksa meninggalkan Naren seorang diri.

Sementara Nan menghadapi keputusasaan, Naren kembali menghisap rokok tanpa habis. Matanya memerah, mencerminkan gelombang emosi yang sulit dipahami. Entah apa yang dipikirkannya.

Padmanara Narendra, berusia 23 tahun, kini hidup dalam paradoks. Meskipun memiliki kemampuan finansial, segala yang dilakukannya terasa tak berarti baginya. Kekayaan material tidak mampu membawa ketenangan pada hatinya yang selalu gelisah. Ia merangkak dalam labirin emosional, di mana kemarahan menjadi monster yang sulit dikendalikan.

Pada usia yang seharusnya penuh potensi dan kegembiraan, Naren merasakan kekosongan yang sulit dijelaskan. Mungkin, di balik keberhasilan finansialnya, ada pertarungan internal yang belum terpecahkan. Kekayaan di dunia luar tidak selalu mencerminkan kekayaan batin, dan tampaknya Naren sedang mencari arti yang lebih mendalam dalam hidupnya yang penuh kontradiksi ini.

Tiba-tiba, ada tangan kecil yang mengetuk bahunya dua kali. Dalam keadaan marah, Naren menoleh dengan tatapan tajam ke arah anak itu, "Bodoh, jangan mengganggu-" ucapannya terhenti tatkala melihat anak itu menangis.

"Apa?!" sergahnya galak, kenapa hari ini banyak sekali membuatnya gela.

Naren terus menelisik anak itu dengan penuh perhatian. Meski wajahnya memancarkan kepolosan, tanda-tanda berandalan melekat pada penampilannya. Lihatannya yang tajam dan sorot matanya yang penuh dengan ketidakpercayaan menunjukkan bahwa kehidupan anak itu tak selalu sesederhana yang terlihat.

Sementara Naren merenung, ia merasakan getaran emosi dari anak tersebut. Meskipun sikapnya yang kasar tadi, kilatan air mata di mata anak itu membuatnya merasa terkejut. Mungkin ada lebih banyak lapisan dalam cerita anak ini, mungkin sesuatu yang telah membuatnya menjadi anak berandalan, namun di balik itu ada kebutuhan untuk diperhatikan dan dimengerti.

"Kak! Tolong, tolong aku!" seru anak itu, berusaha bersembunyi di belakang punggung besar Naren. Terlihat bahwa anak itu terluka, kemejanya yang putih kini berwarna darah. Tanpa ragu, Naren menarik kasar anak itu.

"Idiot, jangan mendekat," desis Naren dengan suara berat

"Aku janji- akan melakukan apapun asalkan kakak menolongku" ucapnya terengah-engah. Air matanya masih membekas di pipi anak manis ini.

Sementara Naren bersikap kasar terhadap anak kecil, tiba-tiba sekelompok orang besar, mirip preman, mulai mengejarnya. Keheranan melintas di wajahnya. Meskipun ia pembalap yang terampil, bukan petinju, dan pertarungan satu lawan sepuluh bukanlah opsi yang layak.

Dalam sekejap, pertanyaan muncul: Apakah anak jaman sekarang lawannya adalah preman. Dan bagaimana Naren akan mengatasi situasi ini tanpa terlibat dalam pertarungan yang mungkin tak seimbang?

Naren merasa detak jantungnya berdebar lebih cepat ketika sekelompok orang besar itu semakin mendekat. Keningnya berkerut, mencoba mencari solusi cepat di tengah keadaan yang semakin memanas. Meskipun memiliki keterampilan sebagai pembalap, bukan petinju, dia menyadari bahwa pertarungan satu lawan sepuluh akan menjadi tugas yang tidak mungkin.

Dalam kepanikan, Naren memberikan pandangan tajam pada anak kecil itu,

"Kau bikin masalah, nak." Namun, segera setelah itu, naluri protektifnya muncul. Dengan cepat, dia mencari tempat perlindungan untuk anak itu sambil merenungkan rencana cepat untuk menghindari konfrontasi fisik.

Saat langkah-langkah pembalap tangguh ini bergegas menjauh dari ancaman, pertanyaan tetap melayang di udara: Hal bodoh apa yang ia lakukan sekarang? menolong anak kecil yang sedang dikejar preman?

Sementara Naren dan anak itu berusaha menghindar dari kejaran orang-orang besar, adrenalinya meningkat. Meskipun tak memungkinkan untuk melawan mereka secara langsung, Naren mencoba mengevaluasi opsi pelarian yang aman. Dia melihat sekeliling, mencari tempat perlindungan atau jalur keluar yang tak terduga.

Anak itu, sambil terlihat takut dan terluka, tetap setia mengikuti Naren. Suara langkah-langkah orang yang mengejar semakin mendekat, memaksa mereka untuk berpikir cepat. Mungkin saja ini bukan hanya masalah Naren, tapi ada sesuatu di dalam cerita anak itu yang menarik perhatian kelompok tersebut.

Dalam ketegangan yang melanda, Naren dan anak itu berusaha menghindari konfrontasi sambil merencanakan langkah selanjutnya. Mungkin saatnya untuk memanfaatkan kecepatan dan ketangkasannya sebagai pembalap dalam mengatasi situasi yang semakin kompleks ini.

Anak itu, namanya Prastara Kristin, anak berusia 16 tahun yang terlibat dalam kehidupan kriminal, seakan membawa beban masa lalunya yang rumit bersama Naren. Meskipun berada di tahun kedua sekolah menengah akhir, Tin tampaknya telah menjadi tokoh yang sering berada di luar batas.

Sikap dan penampilan Tin yang polos mungkin menjadi ilusi yang menutupi realitas yang lebih kompleks. Serangkaian skors dan absennya dari sekolah mengisyaratkan bahwa ada lebih banyak yang belum terungkap tentang kehidupan remaja ini. Apa yang mendorongnya terlibat dalam tindak kriminal, dan apakah ada cerita di balik tindakan-tindakan tersebut?

"Childish-Boy" [ PoohPavel ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang