Two

44 4 0
                                    

Mendengar ucapan Zea tadi yang begitu sarkas, Zion hanya terdiam. Dia sudah terbiasa dengan kata kasar yang dikeluarkan Zea untuknya tetapi tetap saja, terkadang masih terasa sedikit menyakitkan.

Zea pergi meninggalkan Zion yang mematung dengan rasa amarah. Gadis itu bejalan tergesa -gesa, berniat untuk mencari Dean. Setidaknya ia harus bisa menjelaskan permasalahan yang terjadi di sini. Tujuan utamanya kini adalah ruang kelas Dean.

Namun nihil, laki - laki itu tak ada di kelasnya yang ternyata sedang ada jam kosong karena pergantian jam pelajaran. Kemana pun kekasihnya itu pergi, Zea hanya bisa berharap tak akan terjadi hal buruk setelah ini.

"Mungkin kalo bukan karena Zion semuanya nggak bakal jadi kaya gini," gumamnya penuh sesal.

Zea pun menyerah untuk mencari Dean dan memilih kembali ke kelasnya karena jam pelajaran Mr. Mac sudah usai. Ia tidak boleh sampai ketinggalan jam pelajaran lain.

Bagaimanapun juga Zea tetaplah Zea yang enggan mengalah dalam hal nilai. Apalagi dirinya sudah kelas 12, sebentar lagi hasil dari usahanya selama ini akan terlihat. Hanya tinggal menunggu beberapa hari saja dan pengumuman eligible akan diumumkan.

Zea tak boleh kalah dari Zion, atau ayahnya akan memiliki alasan lebih untuk menyanjung kembarannya itu dan semakin melupakan keberadaan akan dirinya.

Atau mungkin sudah menjadi takdirnya yang akan dilupakan untuk waktu seumur hidup.

******

Langkah demi langkah Zea pijakkan menuju ruangan gelap sunyi yang sudah menjadi tempat ternyaman baginya selama ini. Dihidupkannya lampu ruangan tersebut, yang tadinya terlihat suram seketika terlihat lebih baik. Ruangan ini cukup lebar dan cantik dengan lampu temaram menghiasi di sudut ruangan.

Gadis bermata coklat itu menjatuhkan tasnya di lantai dan beranjak untuk mendekap erat guling di kasurnya. Zea merasa sangat lelah dengan apa yang terjadi hari ini. Tentang hubungannya yang mulai merenggang dengan Dean, tentang Mr. Mac yang marah padanya, dan tentang Zion yang semakin hari semakin bersikap kurang ajar.

Kepalanya cukup berisik hanya untuk sekedar tidur dan yang ia butuhkan saat ini hanyalah distraksi.

Diambilnya sebuah sketchbook yang berada di atas meja belajarnya. Buku itu tadinya tak terlihat karena tertutup oleh buku - buku sains tebal miliknya. Sengaja ia posisikan seperti itu agar tak ada orang yang menyadari keberadaan buku itu. Jika mungkin ketahuan, itu sudah seperti aib baginya.

Zea segera memposisikan dirinya dengan nyaman di kursi belajarnya, tangan kanannya dengan lihai mencorat - coret goresan demi goresan di atas kertas hingga membentuk sebuah sketsa yang mulai terlihat. Kini pikirannya sudah mulai tenang, tak seperti tadi.

Namun baru 20 menit Zea merasa tenang, tiba tiba terdengar suara ketukan pintu.

Tok tok tok

"Ze, ini gue."

Zea sangat mengenal suara itu. Suara yang telah mengganggunya selama ini dan suara yang sangat ia benci.

Gadis itu tak menghiraukan panggilan yang ditujukan padanya. Namun, semakin lama panggilan itu tidak kian berhenti. Akhirnya, Zea pun muak dan memutuskan untuk keluar kamarnya dengan berat hati.

Dibukanya pintu dengan kasar, raut wajahnya sangatlah terlihat tak bersahabat.

"Apa sih ganggu banget. Gue lagi istirahat," ucap Zea dengan ketus kepada pria yang berdiri di hadapannya sekarang.

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo," tak sempat Zion melanjutkan bicaranya, Zea sudah keburu ingin menutup pintu.

Cowok itu untungnya memiliki refleks yang bagus sehingga belum sampai pintu tertutup, tangannya dengan gesit menahan pintu kayu tersebut.

Double ZWo Geschichten leben. Entdecke jetzt