Three

30 3 0
                                    

Setelah kepergian sang Ayah dari dalam kamarnya, Zea mengambil kembali Drawbook yang telah dilempar Yudha sambil berjalan mengunci pintu kamarnya.

Gadis itu melangkah ke tempat tidurnya membawa Drawbook dan juga pensil ditangannya. Duduk di atas ranjang dengan tatapan kosong, menatap buku yang ada dipangkuannya. Sambil terus menggoreskan coretan - coretan di atas kertas gambar tersebut, setetes air mata membasahi buku di pangkuan Zea.

"Lo ngapain nangis sih Ze. Apa sih yang lo tangisin?" Tanya Zea pada dirinya sendiri sambil menghapus air matanya dengan kasar.

"Lo nggak usah nangis - nangis kaya gini, gak guna. Mending lo tidur Zea!"
Kalimat terakhir yang Zea ucapkan untuk dirinya sendiri sebelum menarik selimut tebalnya dan meringkuk didalam selimut, mencoba memejamkan matanya dan berharap bisa melupakan ucapan - ucapan menohok yang tadi ayahnya lontarkan.

*******

Pagi hari ini cuaca sedikit mendung, awan hitam menyelimuti langit yang biasanya terlihat cerah. Seperti suasana hati Zea saat ini. Dengan wajah yang sedikit lesu, Zea keluar dari kamarnya dengan menggendong tas ransel pada punggungnya, menuruni anak tangga satu persatu.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, dia terus melangkahkan kaki menuju pintu utama rumah tanpa menoleh ke sekelilingnya. Dengan terus memencet tombol - tombol di ponsel yang ada di genggamannya.

Belum sampai ke depan pintu utama, suara bariton dari orang yang paling disegani di rumah ini terdengar.

"ARZEA BAGASKARA! dimana sopan santun kamu? Ini yang diajarin sama guru kamu selama ini disekolah? Main nyelonong aja, gak pamit sama orang tua, bagus kamu begitu?" Tegur sang kepala keluarga yang mengenakan setelan lengkap khas dokternya, sambil berjalan mendekat ke arah sang anak perempuan yang sekarang berdiri tak jauh dari pintu utama.

Tanpa menjawab ucapan ayahnya, dengan sangat terpaksa Zea menyunggingkan senyum tipis dan berlalu dari hadapan sang ayah, untuk kembali ke dalam dan berpamitan.

Setelah sampai di depan meja makan, Zea mengulurkan tangannya dan mencium tangan sang ibunda.

"Bun, Zea berangkat sekolah dulu ya," pamitnya.

"Loh, gak sarapan dulu Ze? Berangkat sama siapa kamu, nggak berangkat bareng kakak, Ze?"

"Enggak usah Bun, aku sarapan di sekolah aja, Zea udah pesen ojek online kok."

Sebuah tatapan sinis ia lontarkan pada kakak kembarnya. Selanjutnya, ia melangkah dengan sedikit tergesa karena tak ingin berada berlama - lama di tempat itu.

Zea kemudian kembali kehadapan sang Ayah, menyalami tangan pria yang menjadi kepala keluarga rumah ini.

"Yah, Zea berangkat dulu ya. Doain Zea, semoga anak bodoh ini bisa banggain Ayah nanti."

Tak ingin menunggu respon lebih lanjut dari Ayahnya, Zea keluar rumah dan memakai sepatunya dengan cepat.

"PAK, ZEA BERANGKAT YAAAA!!" Sapa Zea kepada satpam yang berjaga di rumah besar keluarga Bagaskara ini.

Karena pribadinya yang cukup ramah, Zea tak pernah merasa kesulitan berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Bahkan ia sangat akrab dengan satpam rumah.

"Ehhh, IYA NENG HATI - HATI!" Teriak pak satpam, membalas sapaan Zea.

"SIAP PAK!"

Gadis itu melangkahkan kakinya keluar dari pagar rumah dan menaiki ojek online yang telah diordernya sekitar sepuluh menit yang lalu. Bersyukurlah dirinya pada siapapun pencetus aplikasi hijau yang sangat memudahkan transportasi semua orang. Jika bukan karena itu, mungkin sekarang dia akan berada di halte sambil menunggu bis kota yang jadwalnya selalu tak tepat.

Double ZWhere stories live. Discover now