18. Resya Aulie

1 0 0
                                    

Usai membaca pesan tersebut, Enzo melirik Narin yang sudah kehilangan mood-nya. Laki-laki itu menaruh handphone nya lalu menarik Narin ke dalam pelukannya. Enzo nampak menahan senyumnya, akhirnya ia bisa melihat seorang Narinka cemburu.

"Siapa dia?" tanya Narin dengan nada yang datar.

"Nggak tahu. Nomor nyasar mungkin," balasnya tanpa melepas dekapannya.

"Mana ada nomor nyasar bisa kenal lo?"

"Nih, hapus aja. Nggak penting juga," jawab Enzo memberikan benda elektronik miliknya. Narin menatap benda itu tak minat tetapi tangannya tetap tergerak memblokir dan juga menghapus nomor itu.

"Ayo, katanya mau jalan-jalan?" ajak Enzo.

"Iya sebentar mau ganti celana." Enzo mengangguk menatap kepergian Narin.

Beberapa hari kemudian. Enzo dengan perasaan terpaksa datang ke rumahnya. Giyan - Ayahnya - meminta ia untuk datang sore ini karena sesuatu hal. Dengan perasaan dongkol, Enzo mendorong pintu utama yang memang tak terkunci. Sepi, itulah pemandangan yang pertama kali Enzo lihat. Tanpa berpikir panjang, ia langsung melangkahkan kakinya ke ruangan sang Ayah. Rupanya Giyan sudah menunggunya di ruangan milik nya.

"Ayah. Ada apa?" tanya Enzo to the point.

"Bagaimana dengan jawabanmu untuk permintaan Ayah beberapa hari lalu?" tanya Giyan membuat Enzo mengerti apa yang Giyan maksud.

"Masih sama. Enzo nggak akan mau terima perjodohan itu," balas Enzo sedikit menaikkan nada bicaranya. Raut wajah tenang milik Giyan kini berubah menjadi kecewa.

"Ayah hanya minta itu, Nak. Ini demi keberlangsungan hidup kita kedepannya," ucap Giyan memohon. Sebenarnya Enzo tak tega mendengarnya tetapi ia tetap tidak mau jika harus menikah dengan orang yang tak pernah ia kenal.

"Permintaan Ayah itu bakal bikin Enzo sengsara. Enzo turutin kemauan Ayah untuk bantu Ayah di perusahaan tapi batalkan perjodohan ini, Yah!"

"Tidak bisa, Enzo. Hanya beliau lah yang bisa membantu perusahaan Ayah kembali hidup."

Laki-laki muda yang menjadi lawan bicaranya itu mengacak rambutnya dengan frustasi.

"Bukannya Ayah ada kerja sama juga sama keluarga Kalingga? Kenapa tidak meminta bantuan dari mereka?" tanya Enzo mengingat saran Farza beberapa hari lalu.

"Ayah malu kalau harus minta bantuan pada mereka. Perusahaan mereka itu lebih besar daripada perusahaan kita," jawab Giyan memalingkan wajahnya. Ia sebenarnya kembali teringat kejadian yang menimpa dirinya beberapa tahun silam. Meskipun hal itu tidak berkaitan langsung dengan kepala keluarga Kalingga, namun tetap saja ia malu.

"Bantu Ayah sekali ini saja. Setelahnya terserah kamu mau gimana," lanjut Giyan. Enzo sempat terdiam sebentar sebelum akhirnya ia mengangguk.

"Terima kasih, Anakku." Mata Giyan kembali berbinar. Ia berdiri dari duduknya lalu memeluk Putra satu-satunya itu.

"Tapi Enzo minta, dua wanita itu nggak usah hadir di acara apapun. Sesuai dengan kesepakatan Ayah sebelum Ayah memutuskan menikah dengan dia, kalau Ayah bersedia menyembunyikan identitas dua wanita itu dari keluarga kita." Giyan dengan cepat mengangguk.

Ia akan tetap menuruti kemauan anaknya itu sampai Enzo sendiri yang meminta untuk mempublikasikan keluarga aslinya.

"Iya, Ayah turuti. Kamu tidak usah pulang ya, nanti malam kita ke rumah calon mu," balas Giyan.

"Nggak bisa, Enzo masih ada janji buat ketemu sama Narin."

Giyan nampak menghembuskan nafasnya pelan. "Saran Ayah, kamu jujur ke Narin tentang ini."

Enzo mengendarai motornya dengan perasaan campur aduk. Ia menerima perjodohan itu hanya semata-mata untuk membantu sang Ayah, setelah perusahaan Ayahnya kembali bangkit ia akan menceraikan 'calonnya' itu. Terlalu banyak termenung di jalan hingga Enzo baru sadar bahwa dirinya sudah berada di pekarangan rumah keluarga Kalingga.

Baru saja ia akan mengetuk pintu ternyata Narin sudah siap menyambut dirinya. Senyuman sumringah itu membuat Enzo tidak tega untuk membicarakan masalahnya hari ini.

"Jadi ke gramed kan Kak?" tanya Narin antusias. Enzo mengangguk seraya tersenyum.

"Udah pamitan sama Papa Mama?"

"Udah, tapi sekarang Papa sama Mama lagi keluar." Mendengarnya, Enzo hanya menganggukkan kepalanya lalu menarik tangan Narin untuk segera pergi ke tujuannya.

Setelah sampai di Gramedia, Enzo dengan senang hati mengikuti langkah kecil gadisnya itu. Terlihat sudah ada dua novel di tangan lentik Narin.

"Kak, ini boleh nggak?" tanya Narin menunjukkan sebuah novel yang sepertinya ber-genre dark romance.

"Boleh, ambil aja. Gue mau ke rak sebelah ya, mau cari buku buat ujian nanti," balas Enzo. Narin mengangguk dengan senyum yang masih mengembang.

Enzo membelokkan langkahnya ke rak sebelah, dimana disana banyak sekali buku-buku yang bisa memandu dirinya untuk belajar. Disaat ia sibuk mencari buku yang diinginkannya, tiba-tiba seorang gadis menabrak dirinya membuat buku yang dipegang gadis itu berjatuhan.

"Eh, sorry sorry. Gue keburu," ucap gadis itu mengambil bukunya yang jatuh. Enzo tak hanya diam, ia juga membantu mengambil buku gadis itu.

"Terima kasih ya," ucap gadis itu memandangi wajah Enzo.

"Iya. Lain kali lebih hati-hati," balas Enzo. Ia berdiri dari posisi jongkoknya tetapi urung karena tangannya yang dicekal gadis tak dikenalnya itu.

"Lo Malvenzo kan?" Tanpa ragu Enzo mengangguk.

"Kenalin, gue Resya Aulie yang beberapa hari lalu kirim pesan ke lo," ucap gadis itu seraya memberikan tangannya berharap untuk dibalas oleh Enzo.

"Oh, iya. Salam kenal," balas Enzo tanpa membalas jabatan tangan Resya atau yang biasa dikenal oleh Rere.

"Kak Enzo, udah belum cari bu-"

"Loh, siapa Kak?" tanya Narin mendekat ke arah Enzo.

"Hai, gue Resya Aulie. By the way, gue Kakak Kelas lo di sekolah," ucap Rere memperkenalkan dirinya.

"Oh, hai Kak. Narinka," balas Narin menjabat tangan Rere.

"Ya udah, kita duluan ya Re," ucap Enzo lalu meninggalkan Rere disana sendiri.

"Sebentar lagi lo bakal jadi milik gue, Enzo."


Untuk part ini segini dulu ya...
Jangan lupa vote dan komen nyaa!!
See you next part😻😻😻

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 20 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MALVENZOWhere stories live. Discover now