Kisah Kedua : Kembaran yang Buruk

83 11 5
                                    

Manikku menatap buku partitur musik dengan tanpa gairah. Bingung harus mulai dari mana untuk menciptakan nada paling menggugah. Biasanya seniman ternama mengambil sejumput kisah pilu dari kehidupan sebagai inspirasi, lainnya menjadikan kisah indah sebagai landasan berfantasi. Tapi itu semua sama-sama sulit untuk orang sepertiku, yang hidup dalam rona abu-abu. Entah harus goreskan kisah bahagia atau bersedih.

Pernah sekali aku menyetorkan kertas pertitur ke dosen pengampu. Beliau mengetes not tiap not yang membawaku masuk ke jurusan seni musik. Usai menekan tuts terakhir, keningnya mengerut dalam.

"Pieces milikmu sangat membingungkan. Batas antara sedih atau senang tidak ada sama sekali. Bagaimana bisa pendengarmu mengerti jika begini?"

Sejak saat itu aku menyadari, rasa sangatlah penting di tiap karya. Tanpanya, karyamu terasa hampa yang membingungkan penonton. Kemudian, perjalanan menumpahkan rasa dalam suatu gubahan, tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan.

Berkat ucapan Bunda, aku merasa semakin terkungkung dalam bayangan kalimat tak mengenakkan. Kepalaku bagai memagari imaji yang sejak pagi aku biarkan menggali sekepingan memori. Nahas, semua buyar begitu saja.

"Mas, ada di dalam?" Ketukan pintu dan suara Arsena mengambil alih perhatianku dari menulis not-not musik. Belum sempat menjawab, kepala Arsena lagi-lagi menyembul dari sana. Seperti sudah kebiasaan.

"Oh, ada. Kirain pergi."

"Mau pergi ke mana, deh? Mas sibuk memikirkan UAS yang tak kunjung selesai. Daripada keluyuran, mending menyelesaikan semua beban-beban ini," dengusku dengan tubuh yang kembali memaku ke buku partitur.

Aku membelakangi Arsena, tapi aku bisa menebak bahwa ia sedang menjajah kasurku—tak jauh dari meja belajar. Suara derit samar menyapa kuping sewaktu dia melemparkan tubuhnya ke sana.

"Mas, minggu depan aku mau pergi menginap sama teman-teman band-ku. Ke puncak Bogor, sih." Penjelasan Arsena hanya aku hadiahi dehaman. Jemariku masih sibuk menulis not balok pada buku partitur. Lagipula, untuk apa dia bercerita? Aku tidak peduli.

"Terus aku di sana 3 harian. Aku sudah izin ke Bunda, langsung diiyakan asalkan tidak aneh-aneh. Kata temanku, vila milik Kak Deon itu nyaman banget. Kita berniat untuk jalan-jalan, main, terus membuat pesta BBQ. Seru, kan?" Arsena masih dalam posisi berbaring karena kasurku tidak menimbulkan bunyi derit sama sekali. Tapi aku tidak tahu pasti ekspresi macam apa yang ditampilkan. Lagi-lagi aku tidak terlalu menanggapi, hanya sebatas memberikan dehaman tidak tertarik.

"Mas, jawab dong!" protesnya kala tak kunjung mendapat jawaban memuaskan dari mulutku.

Aku mau tidak mau menoleh. Kasurku berderit cukup brutal saat Arsena berganti posisi, ia sudah duduk di pinggir kasur dengan manik yang memantulkan kekesalan. "Mau jawaban bagaimana?" tanyaku kalem seolah tak terganggu dengan rasa kesalnya.

"Kasih reaksi gitu! Masa aku sudah cerita  banyak hal malah dihadiahi dehaman saja."

"WAH! Liburan Sena seru sekali, ya! Mas jadi mau ikut juga." Aku menampilkan wajah sok senang meski nada suaraku sedatar papan triplek.

Arsena masih tidak puas, namun dia tetap menimpali. "Ayo kalau Mas mau ikut. Aku sudah izin ke Bunda dan Kak Deon juga tidak mempermasalahkannya." Kali ini aku yang menampilkan raut kesal. Apa-apaan itu?

"Minimal tanya dulu. Kalau Mas masih ada urusan bagaimana?" Tidak hanya menoleh, tubuhku sudah sepenuhnya saling berhadapan dengan Arsena. Dia kelihatan senang setelah berhasil mencuri perhatianku.

"Besok kan UAS terakhir. Aku punya teman yang satu kampus dengan Mas Raya."

Aku langsung memutar bola mata malas. Kalau ajakan dia ditolak, pasti Bunda yang akan maju dan membujuk sampai aku mengiyakan.

Semua Untuk Raya [ BEOMGYU FIC ]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin