Kisah Ketujuh : Dunia Tidak Pernah Memihakku

46 9 0
                                    

Warning : This chapter contains suicidal thought

____

Waktu mengobrol dengan Anya memang kurang dari lima menit, namun cukup meninggalkan kesan yang kuat mengenai pandangan baruku terhadap Arsena Diaskara.

Ternyata orang seperti Arsena mudah mendapatkan perhatian sekalipun dia menyodorkan bahu dingin. Mungkin ini yang disebut sebagai privilege manusia jenius? Aku tidak pernah mengharapkan bisa seperti Arsena. Mustahil sekali.

"Mukanya kenapa menekuk? Anya ada bilang sesuatu, ya?" Aku tidak sadar sudah berdiri di samping Arsena dan sedikit terkesiap mendengar kalimatnya barusan.

"Hanya mengobrol ringan, dia titip salam buatmu."

"Oh, ya?" nada Arsena meragu, dia seperti tidak mempercayainya. Jelas-jelas aku yang dititipi, kenapa dia seperti menganggapku melontarkan omong kosong. Ekspresinya membuatku kesal.

"Untuk apa Mas bohong. Anya benar-benar menitipkan salam," jawabku agak ketus. Menyikapi balasan yang kurang bersahabat, Arsena menggaruk pipinya menggunakan telunjuk.

"Aku tidak bermaksud bikin Mas marah," katanya pelan. "Sumpah!" lanjut dia. Namun aku memilih tidak menanggapi. Ditambah lagi kami sudah terlebih dahulu sampai di depan kasir.

Begitu menyelesaikan transaksi, aku mengajak Arsena mampir ke Marugame Udon. Tempatnya tidak seramai siang hari, ada banyak bangku kosong yang masih tersedia.

Udon menjadi salah satu makanan kesukaanku dan Arsena. Alasannya sederhana, dahulu Bunda senang membuatnya dengan resep otentik milik nenek. Cita rasa buatan rumah dengan resto memang berbeda. Setidaknya ini bisa mengobati rasa rinduku. Aku tak bisa menampiknya. Aku rindu masakan bunda.

Di tengah nostalgia kenangan masa kecil, mataku membulat sempurna tatkala melihat piring panjang milik Arsena yang dipenuhi empat macam gorengan berukuran lumayan. "Gorengannya habiskan, loh!"

"Habis, kok. Aku lapar, Mas."

"Awas saja." Aku lalu membayar pesanan kami dan menyuruh Arsena mencari tempat duduk terlebih dahulu. Selepas melakukan pembayaran, barulah aku menyusulnya. Dia bahkan sudah mengisikan gelasku dengan lemon tea tanpa disuruh.

"Mas—"

"Terima kasih sudah mengisi minumnya."

"—err iya, sama-sama. Mas, nanti beneran ikut ya hari minggu." Arsena terlihat cemas tanpa sebab. Aku memasang wajah penuh tanda tanya. Dia kadang-kadang memang bodoh terlepas dari nilai akedemisnya yang memukau.

"Kalau tidak ikut, kenapa Mas susah-susah belanja keperluan bareng kamu? Yang benar saja Arsena Diaskara. Sekarang lebih baik kamu habiskan makananmu itu dan kita pulang!" Aku menekan tiap kata di kalimat terakhir. Sengaja agar Arsena mau berpikir sebelum mengatakan hal lain.

Arsena malah mendengus, "kan siapa tahu." Dia masih belum mau melepaskan perasaan cemas tak berdasarnya itu.

"Coba sekali-kali kamu percaya sama Mas. Memang Mas pernah membatalkan janji selama ini?"

Anak itu terdiam, mungkin sedang mengingat janji yang pernah kami bagi selama hampir sembilan belas tahun hidup bersama. Tak berapa lama kepalanya menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaanku.

"Takut, soalnya ... Mas kelihatan sangat—" dia terhenti sejenak. Kata-katanya mengawang, mata Arsena menatapku masih dengan kecemasan. "Akhir-akhir ini Mas kelihatan sangat membenciku?"

Ah, kurasa Arsena tidaklah cukup bodoh. Dia menyadarinya. Daripada benci, aku hanya iri dengan Arsena. Dunia selalu memihak kembaran yang lebih baik. Bukan Brayatanu tentu saja.

Semua Untuk Raya [ BEOMGYU FIC ]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon