Cerita Pertama : Keinginanku

68 11 2
                                    

Hidup adalah sebuah misteri. Bagiku yang menekuni sains, jalan takdir memang tidak pernah bisa ditebak. Namun, aku percaya bahwa hukum sebab akibat akan selalu menyertainya. Hanya saja, kenapa hidup yang aku jalani sangatlah berat? Tuhan terlalu mempercayaiku dalam menjalani tiap ujian-Nya. Padahal aku hanyalah seorang manusia dengan segala keterbatasan yang ada.

Selama memiliki mimpi bekerja sebagai dokter spesialis profesional, gedung berdominasi putih selalu menjadi tempat kerja yang paling kudambakan. Menolong banyak orang merupakan salah satu pencapaian terbesar, setidaknya untukku, hal lainnya karena aku merasa lebih berguna. Ketimbang masku yang dikenal sebagai jenius musik, aku masih bukanlah apa-apa.

Tak kusangka, rumah sakit menjadi rumah keduaku bahkan ketika aku masih menjejak bangku perkuliahan tingkat dua. Aku rutin ke sana setelah menyelesaikan kelas siang. Kadang kala, beberapa kawanku turut serta jika mereka tak memiliki kesibukkan.

"Berkunjung lagi, Sena?" sapaan seorang suster di koridor membuatku menghentikkan langkah. Dia tidak kelihatan tergopoh dengan senyum ramah merekah.

Suster Melia memang gemar berinteraksi dengan orang-orang di sini.

"Sore, Suster Melia. Iya, mau menjenguk Mas seperti biasa."

"Titip salam buat Mas gantengnya, ya."

Aku membalas dengan anggukan sebelum kembali melangkah. Kamar Cordelia menjadi destinasi utamaku.

Saat hendak memasuki ruangan yang sarat akan bau obat-obatan, aku menarik napas dalam. Berusaha menarik senyum secerah mungkin.

"Sore, Mas Raya! Hari ini aku bawa bunga baru lagi seperti janjiku." Aku segera mengeluarkan vas bunga dari lemari di bawah televisi.

Sehabis menyatakan janji untuk membawa bunga krisan tiap minggu, vas-vas ini kubeli agar aku tidak kesulitan mencari tempat meletakkan bunga tersebut di kemudian hari.

Aku tersenyum puas melihat teras kosong yang kini dihiasi delapan bunga. Supaya mereka tetap hidup, aku bahkan mempelajari cara merawat bunga dari Bunda.

"Capek juga," bisikku seraya melemparkan tubuh ke kursi dekat brankar milik Mas Raya. "Tadi Suster Melia nitip salam. Mana Mas dipanggil ganteng lagi. Kayaknya kalau beliau masih muda, pasti bakalan kesemsem sama Mas." Tawa mengudara menjadi pemecah keheningan, tapi kembaranku masih bergeming tanpa niat menanggapi. Senyum kecil kuberikan sebagai penutup obrolan tak penting yang terlontar.

Mataku kembali memperhatikan tiap jengkal wajah Mas Raya. Luka yang sempat membuat meringis, kini mulai terlihat memudar. Aku mengenggam salah satu tangannya erat. Rasa melankolis yang berusaha aku tepis, kembali hadir tanpa diundang. Namun aku tidak boleh menangis. Tidak di hadapan Mas Raya yang bisa saja melihatnya.

"Sudah tiga bulan lebih, kok masih betah tidur sih Mas? Ayo, bangun. Aku kangen sama omelan Mas. Bunda juga kangen banget. Maaf ya kalau Bunda jarang kemari, sepertinya Bunda masih merasa bersalah ke Mas Raya." Aku terdiam, sorot mataku meredup menyaksikan bagaimana tubuh Mas Raya dipenuhi alat penunjang kehidupan.

"Mas, jangan lupa sama janji buat enggak pergi. Aku bakalan benci Mas kalau sampai Mas bertemu Ayah secepat ini."

Tidak ada pergerakkan dari Mas Raya, dia masih terbujur kaku dengan tangan yang setengah mendingin. Pada akhirnya, yang bisa aku lakukan hanyalah menggantung harapan pada Tuhan.

XXX

Jika diberi pertanyaan apa yang paling membuatku menyesal, aku hanya menyesal ketika aku membiarkan mereka keluar di hari itu. Andai saja bukan Mas Raya yang mengantar, mungkin saat hujan mengguyur, aku akan meyakinkan Bunda untuk tetap di studio sambil melukis.

Semua Untuk Raya [ BEOMGYU FIC ]Where stories live. Discover now