Kisah Kedelapan : Yang Kami Sebut Teman

39 9 0
                                    

Menghabiskan waktu di music producing room rupanya bisa begitu membutakan. Aku masuk ketika sinar mentari masih berpendar hangat dan keluar saat semburat oranye menyembul tipis-tipis. Perasaanku cukup lega walau ada letih yang terasa. Kabar baiknya, sedikit lagi laguku selesai, hanya tinggal merampungkan lirik dan memberi judul yang tepat sebelum memulai proses recording.

Jangan tanyakan bagaimana perasaanku setelah ini. Menekuni hobi benar-benar dapat mendorong rasa senang sekaligus menyingkirkan segala macam pikiran negatif. Fakta bahwa Bang Reno menyelamatkanku dari kefrustrasian—secara tak langsung—membuatku bersyukur untuknya.

Tungkai jenjangku mulai menapaki area kantin setelah membuat janji temu bersama Kamal. Memasuki luasnya kawasan kantin membuatku kesulitan mencari eksistensi temanku itu. Alhasil, mataku bergerilya memindai wajah-wajah asing di sana sampai menemukan orang yang dicari-cari. Bingo! kepala Kamal terlihat di sudut kantin.

Oh, dia tidak sendirian. Ada Anya dan Semanggi. Sewaktu jarak kami makin dekat, mataku bertemu pandang dengan mereka, terkecuali Kamal yang duduk membelakangi. Aku memberi isyarat kepada dua orang lainnya untuk pura-pura tidak melihat kedatanganku.

"DOR!" seruku mengejutkan Kamal. Air putih yang hendak menyapa kerongkongan pemuda itu dipaksa keluar dan tanpa sengaja menyembur ke wajah Semanggi—yang duduk persis berhadapan dengan Kamal.

"Anjir banget, Raya! Kenapa gue yang kena," sewot Semanggi yang tidak disangka mendapatkan getahnya. Tangan dia meraih tisu secara membabi buta untuk mengelap air bekas semburan sakti Kamal. Sementara itu, pelaku penyemburan sibuk terbatuk-batuk.

Hanya aku dan Anya yang terkikik geli melihat kejadian tadi. Tanpa merasa bersalah, aku duduk di samping Kamal, menepuk punggungnya pelan berupaya mengurangi efek tersedak.

"Iseng banget lo." Anya menunjuk wajahku menggunakan sumpit. Dia sedang memakan mie ayam ketika aku melancarkan aksi jahil tadi.

Aku menggedikan bahu cuek atas pernyataan Anya. Toh, bukan dia yang menjadi sasaran keisenganku. "Tumben ke kampus. Biasanya hari minggu gini kalian sibuk ngonser," kataku pada Anya dan Semanggi.

"Gak ada yang bisa ditonton hari ini," timpal Semanggi masih dengan nada yang cukup kesal. Aku melebarkan senyum sebelum meminta maaf padanya lagi. Hei, aku tidak berekspetasi Kamal akan menyemburnya!

"Sialan banget, Raya. Gue berasa hampir mati." Kamal memukul bahuku seraya bersunggut. Bibirnya mencebik kesal, seperti bocil merajuk. Aku tidak membalasnya, hanya terpingkal sedikit—dan semakin membuat Kamal merengut.

"Lo sendiri kenapa ke kampus?" Anya menengahi masalah di antara aku dan Kamal dengan melontarkan tanya.

Sekonyong-konyong kutatap Anya yang terlihat bersemangat. "Dapat free pass pakai ruang produksi. Kalau tau besok kiamat, gue tetep bakalan dateng. Kapan lagi dapet kesempatan begitu."

Kamal menganggukan kepala, menyetujui ucapanku. Dia memahami kesulitan tersebut lantaran kami berada di jurusan yang sama. Sebetulnya tidak hanya Kamal, melainkan Anya juga. Tapi dia tidak memberi reaksi apa-apa.

"Gue baru tau itu ruangan susah dipake."

"Iya, Gi. Kebanyakan dipake sama kating buat proyek akhir. Bisa aja sih kita pake, cuman gak bisa selama itu. Mentok dua jam doang." Anya mengambil alih guna menjelaskan pada Semanggi yang diiyakan olehku dan Kamal.

"Begitu, toh. Gue—"

"Pe-permisi!" seruan seorang gadis menyita perhatian kami berempat. Dia sangat manis meski rambut panjangnya tergerai menutupi lehernya yang jenjang. Ekspresi sang hawa seperti gugup sekali dan aku menangkap totebag kecil yang ia pegang erat.

Semua Untuk Raya [ BEOMGYU FIC ]Where stories live. Discover now