Kisah Keempat : Saudara Hanya Saling Memiliki

65 11 0
                                    

Permainan berakhir dengan kekalahan Mahendra sebagai penutup. Aku, Semanggi, David, dan Kamal mengembangkan senyum kemenangan, merasa puas dengan hasil akhir permainan. Tidak peduli siapa yang menduduki peringkat pertama, yang terpenting bukan kami yang terakhir. Mahendra berkali-kali keluarkan sumpah serapah sebelum sibuk mencari puisi gubahan Rendra.

"Lo diem-diem seneng bakalan tampil di lampu merah, ya?" David menyenggol-nyenggol lengan Mahendra diwarnai raut meledek. Kontan saja yang diledek terlihat hampir naik pitam.

"Diem! Ini semua gara-gara Semanggi ngajak perang kartu plus!" tuding Mahendra ke arah manusia yang sedang tergelak melihat kenelangsaan dirinya. Aku tidak menimpali, tapi langsung terpingkal mengingat permainan terakhir tadi.

"Kok gue?" keluh Semanggi. "Itu salah lo sendiri yang kartunya miskin!"

"Mau lo misuh seribu kali pun, gak bakalan bikin hukumannya batal, Hen. Terima nasib aja lah." Mahendra memilih tidur daripada menanggapi kalimat Kamal tadi. Ia sepertinya sengaja berbaring demi menyelamatkan sejentik kewarasan yang tersisa.

"Hendra ngambek?" tanya David sambil mencolek bahu kawannya yang tidur membelakangi kami.

"Nggak, gue lagi meresapi puisi buat besok. Mending diem lo semua, gue mau tidur habis ini!"

Melihat tingkah mereka, aku baru menyadari sesuatu. Sudah hampir dini hari, namun mereka tak kunjung kembali ke rumah masing-masing. Bahkan, Mahendra sudah duluan mengambil tempat untuk terlelap. "Kenapa kalian jadi ikutan tidur di sini? Perasaan cuman gue yang izin." Aku menatap mereka satu per satu—mencari jawaban dari rasa penasaranku sendiri.

"Nemenin lo, Raya. Emangnya lo mau ditemenin penunggu asli sekretariat? Katanya sih cewek—" David membekap mulut Kamal yang hampir memuntahkan kata-kata sompral. Kebiasaan!

"Berisik. Jangan ngomong aneh-aneh di tempat begini Akmal Siantartop." David menekan kalimat terakhir dengan nada serius yang jarang sekali ia tampilkan. Aku paham kekhawatiran David.

Legenda penunggu kampus sudah menandingi kepopuleran ketua BEM. Ada yang mengatakan bahwa pamali membicarakannya di malam hari. Bisa-bisa ditandai sebelum diculik ke alam lain. Tiba-tiba aku bergidik ngeri membayangkannya.

Sementara itu, Kamal tidak kelihatan takut barang sedikit saja. Ia berkata, "Maaf, gue lupa. Nama gue Kamal Sianuarta ngomong-ngomong!" David membalas dengan acuh. Tak mau mengoreksi nama Kamal yang ia kumandangkan sesalah mungkin.

"Gue mau balik, jadi takut gara-gara Kamal. Anterin ke parkiran dong," pinta Semanggi yang ternyata tidak berniat menginap. Aku tertawa geli. Seorang Semanggi yang kerap dikaitkan dengan kata "cool" rupanya memiliki sifat penakut.

"Jangan ketawa! Raya, ayo anterin gue," lanjutnya lagi sambil menatapku penuh harap. Aku merasa tak tega melihatnya begitu.

"Ayo aja, gue sekalian cari angin." Aku sanggupi permintaan Semanggi. Hitung-hitung mengamati suasana sekitar.

"Tuan muda penyelamat," kata Semanggi mendramatisir. Aku memutar mata malas lantaran teman-temanku mulai terdoktrin ajaran Bang Reno perihal nama panggilan itu.

Dengar-dengar dari Anya, anak himpunan sedang mempersiapkan acara bertajuk konser amal,  informasi tersebut membuat rasa keingintahuanku bergejolak. Aku berniat mampir sebentar untuk melihat-lihat setelah mengantar Semanggi.

"Nanti kalau ada yang mau nitip, imess ke gue aja," pesanku sebelum menutup pintu sekretariat.

XXX

Satu-satunya manusia yang menyambut kala mataku terbuka di waktu menjelang siang hanyalah Kamal. Anak itu sibuk bermain gims dari gawainya sembari membelakangiku. Aku mengucek mata pelan lalu meregangkan tubuh.

Semua Untuk Raya [ BEOMGYU FIC ]Where stories live. Discover now