Kisah Ketiga : Bagaimana Aku Bisa Bertahan?

76 12 3
                                    

Pertengkaran dengan Arsena membawa hubungan di antara kami kian memburuk. Arsena tidak pernah lagi mengusikku—bercerita kesehariannya, membuatku dimarahi Bunda, atau menyelinap ke kamarku hanya untuk diajari cara bermain gims—selepas kalimat menyakitkan yang aku lempar padanya tempo hari. Tapi syukurlah. Walaupun sepi perlahan mengoyak diriku sendiri, setidaknya Arsena tak lagi menghampiri.

Aku memutuskan pergi dari rumah sewaktu perang dingin sudah berjalan selama dua hari. Bukan pindah permanen, mana mungkin Bunda mengizinkan. Aku hanya ingin kabur dari realitas yang tengah kualami. Menghirup udara segar sesaat selagi menghilangkan penat.

Tujuanku satu-satunya adalah kampus. Sebab masih menjadi bagian dari teater, aku diizinkan tinggal di sekretariat sesuka hati. Selama menjadi anggota aktif, aku memang tidak pernah menghabiskan malam di sana, paling-paling sekadar mengobrol sampai tengah malam lalu memilih pulang. Bunda tidak pernah mau aku tidur di luar.

Sekretariat terdiri dari tiga bilik; satu tempat beristirahat, satu untuk gudang, dan yang paling besar merupakan tempat kami biasa bercengkrama. Memang terlihat sempit, belum lagi banyak perlengkapan bekas pementasan, tapi aku betah menghabiskan waktu di sini.

Bilik yang biasa dipenuhi anggota teater, masih terlihat sepi di petang hari. Tapi aku bisa jamin, tak berapa lama lagi sekretariat akan dipadati anggota lain. Bang Reno sengaja membagi kabar mengenai keputusanku menginap di grup sore tadi. Respon mereka sangat positif. Kebanyakan malah ingin segera menyusul. Dua minggu tak bersua karena UAS rupanya begitu sulit bagi sebagian dari kami.

"Lo tumben banget tidur di sekre. Ada masalah apa, Tuan Muda?" tanya seniorku. Dia memang paling suka menjahili anggota teater dengan menggunakan panggilan dari nama panggung di pementasan sebelumnya. Kebetulan aku berperan sebagai seorang anak tuan tanah termasyhur.

Aku tersenyum masam mendengar pertanyaan menyentil dari Bang Reno barusan. "Keliatan bermasalah banget ya, Bang?" Alih-alih menjawab, aku memilih melempar pertanyaan kembali.

"Eits, kok malah nanya balik," katanya, "tapi lo keliatan lagi di masa-masa sulit, Raya. Gue belum pernah ngeliat lo sekalem ini, apalagi sampai berani menginap di sekre waktu liburan. Ekhm. Apa yang menganggu pikiran Tuan Muda? Biarkan saya membantu." Bang Reno tiba-tiba berdiri, dia memberikan salam penghormatan dengan tangan kanan berada di depan perut. Persis ketika abdi kerajaan menghadap tuannya. Aku sedikit tergelak, refleks melempar gumpalan kertas ke arahnya agar menyudahi sandiwaranya.

"Gue bukan Tuan Muda lagi. Segitunya Bang Reno enggak bisa move on dari karakter gue," balasku cukup menghakimi.

"Studi pentas kemarin terlalu sulit dilupakan, Raya. Anggap aja gue bener-bener gagal move on." Tawa Bang Reno mengakhiri ucapannya. Dia kembali sibuk membuka plastik belanjaan—mengeluarkan isinya dan menyerahkan beberapa kepadaku.

Aku ingin sekali bercerita tentang kegundahanku perihal audisi. Bang Reno yang menyarankan tempo hari soal mendaftar di teater yang berdikari. Kurasa dia bisa lebih mengerti daripada siapapun. "Gue gagal di audisi teater kemarin, Bang. Kepercayaan diri gue langsung terjun bebas setelah buka pengumumannya. Gue pesimis banget. Gue jadi bertanya-tanya, emang akting gue bener sebagus itu atau cuman gimmick supaya gue tetep ada di sini?"

"Perjalanan lo masih panjang. Kenapa buru-buru banget?" tegur Bang Reno. "Lo tuh masih muda. Gak perlu buru-buru harus ini, harus itu. Nikmati setiap prosesnya, Raya. Seniman itu tercipta dari banyak kegagalan, dari banyak percobaan," imbuhnya santai.

Aku berusaha meresapi kata tiap kata. Barangkali dari sana, rasa kecewa yang memuncak bisa sedikit terobati. Ucapan Bang Reno tidaklah salah, namun jika kondisiku tidak dibayangi oleh kesuksesan Arsena. Alhasil, aku menghela napas berat. "Gue butuh healing."

Semua Untuk Raya [ BEOMGYU FIC ]Where stories live. Discover now