Cerita Kedua : Kilas Balik dan Keluarga Seniman

60 11 2
                                    

Ingatanku kembali ditarik ke belakang, sewaktu kabar kecelakaan sampai ke telinga. Aku ingat betul sedang bersama Galuh selepas kumpul bersama kawan lainnya. Kami memang berniat mengunjungi sekretariat himpunan mahasiswa hukum guna menanyai jadwal festival musik. Sebelum sampai, kabar duka lebih dulu menampar wajahku.

Mungkin jika tidak ada Galuh, aku sudah kehilangan arah. Galuhlah yang menarikku pergi menuju rumah sakit selagi aku memproses ucapan polisi di seberang ponsel. Dia pula yang menemani sampai semua proses penanganan medis terlewati.

"Sen, sadar! Lo harus kuat!" Galuh berusaha membuatku tersadar di sepanjang langkah kami menuju ruang operasi. Pikiranku carut marut kala itu, seolah seluruh duniaku runtuh berkeping-keping.

Bukannya berdoa, otakku malah dijatuhi rentetan pertanyaan-pertanyaan konyol berseliweran tak tahu malu. Bagaimana jika aku kehilangan mereka? Aku takut hidup dalam bayang-bayang penyesalan, aku takut jika harus hidup seorang diri. Di tengah pertentangan pikiran, telingaku menangkap suara yang sangat kukenali.

"ANAKKU, SELAMATKAN ANAKKU ITU! KUMOHON!" teriak histeris menyambut kedatangan kami. Aku mempercepat langkah kaki untuk menghampiri sosok wanita dengan baju yang tak karuan. Kepalanya dibebat perban demi mengobati luka yang aku sendiri tak tahu separah apa. Tetapi setidaknya dia masih hidup. Bunda masih bernapas.

"TOLONG ANAK SAYA." Bunda memohon pada dokter yang bergerak menuju ruangan steril di balik pintu tersebut. Tanpa pikir panjang, aku langsung memeluknya dari samping. Tubuh Bunda setengah limbung, jika aku tidak di sana, mungkin ia terduduk sendirian sembari meratapi kondisi Mas Raya yang tidak jelas bagaimana.

Andaikan Mas Raya bisa melihat kepiluan Bunda saat ini. Bunda sangat menyayangi Mas Raya.

"Bunda, Sena di sini." Aku mengusap pelan punggungnya. Wanita yang dibilang tak kenal kasih sayang ini masih berteriak meminta dokter menyelamatkan anaknya. Ia berusaha melepas pelukanku; barangkali berusaha mendobrak masuk ke ruang operasi. Bunda jelas sedang tidak sadar, masih di bawah pengaruh rasa syok bercampur panik.

"Bun, Sena di sini," bisikku kembali. Berharap Bunda segera sadar bahwa aku sudah bersamanya. Bunda sudah tidak sendirian.

Usahaku membuahkan hasil, Bunda menoleh; menampilkan wajah penuh deraian air mata yang tak mengiring serta wajah lecet sana sini. Tangannya mulai meraih wajahku. "Sena ... maafkan Bunda." Tatapan matanya yang begitu kosong membawa gemuruh pada tubuhku. "Bunda sudah membuat Mas begini. Bunda salah. Bunda yang membuat Mas Raya begini. Sena, Bunda salah."  Lagi-lagi Bunda menangis histeris, dia memukul dadanya berulang kali seperti mengusir sesuatu yang bersarang di sana.

Isakan tangis Bunda membuat gejolak emosiku kian bertambah, aku mencoba menghentikan usaha Bunda memukul diri sendiri selagi lelehan air mata menggenang di ujung pelupuk.

"Bukan salah Bunda. Ini bukan salah Bunda." Aku merapal kalimat itu berulang kali supaya Bunda merasa lebih baik.

Semenjak kejadian itulah Bunda tidak pernah mau mengunjungi Mas Raya. Rasa traumanya selalu membuat Bunda enggan menjejak kaki ke ruang rawat. Aku bisa memahami rasa penyesalan yang Bunda rasakan, tapi kuharap Bunda mau menyisihkannya barang sejenak, demi Mas Raya. Mas Raya kita masih hidup.

Jadi, ketika Bunda tiba-tiba muncul di kampus selepas ujian SOCA(Student Oral Case Analysis) serta berkata, "Ayo jenguk ayahmu dan Mas Raya." Aku merasa sangat senang.

XXX

Kepergian Ayah tidak pernah membuat Bunda terlarut dalam kesedihan. Dia bangkit, membersamai kami yang masih terluka lantaran kepergian sosok kepala keluarga yang sangat dicintai. Bunda selalu menjadi Bunda yang kuat, tidak memperdulikan badai yang menerjang, ia pasti akan berdiri tegap.

Semua Untuk Raya [ BEOMGYU FIC ]Where stories live. Discover now