Bab 2: Diet Lemonade

137 29 2
                                    

"Lo gila!" Suara Niscala nyaris membelah kepalaku yang masih berdenyut hebat.

"Tapi berat badan gue udah turun lima kilo dalam tujuh hari, loh," ujarku tidak mau kalah.

Saat ini kami sedang berada di rumah Niscala, mengerjakan tugas mata kuliah Etika Desain. Tadinya aku berniat untuk membuat portofolio untuk desain-desainku, tetapi denyut di kepalaku semakin hebat.

Pendingin udara sepertinya tidak bisa mengalahkan teriknya matahari. Mungkin inilah penyebab kepalaku sangat sakit. Ditambah lagi ocehan Niscala yang bagaikan badai di telingaku. Sejak tiga hari lalu, sahabatku itu terus mengomel. Apalagi kalau bukan tentang metode dietku.

Aku mendapat informasi diet ini dari salah satu teman kampus ketika membuat tugas kelompok. Temanku itu begitu langsing dengan kulit cerah. Tentu saja, tidak kusia-siakan waktu dengan hanya mengerjakan tugas.

Diet Lemonade, begitu nama diet yang diajarkan padaku. Diet ini cukup singkat, hanya 10 hari. Namun, selama 10 hari itu aku tidak diperbolehkan makan makanan padat. Ini seperti metode detoksifikasi untuk membersihkan sistem tubuh.

Sudah tujuh hari kulakukan diet ini dengan hasil yang tidak mengecewakan. Aku sudah turun berat badan sekitar lima kilo. Namun, Niscala terus mengoceh tentang metode ini. Katanya, aku masih butuh karbohidrat untuk beraktivitas. Apalagi para dosen lagi hobi memberikan tugas baik tugas perorangan atau kelompok.

"Kala...lo aja deh yang ngerjain ini. Gue pusing berat. Mau tidur." Aku langsung merebahkan diri di sofa bed.

"Lo kaya gini itu gara-gara diet, Far. Lagian ngapain, sih? Apa yang mau lo kejar? Felicia? Mending waktu buat diet lo itu dipake buat ngerjain portofolio, deh. Pendaftaran kompetisi dibuka dua minggu lagi. Lagian, ya ... lo diet tanpa diawasi gini, tuh, bisa bawa bencana." Niscala terus mengoceh.

Bayangkan seminggu bersama ocehan yang serupa tetapi tidak sama. Aku sampai nyaris hafal kata-kata apa saja yang akan digunakan oleh Niscala. Terkekeh pelan, kucoba memejamkan mata. Tidak berhasil.

"Hei, Kala ... menurut lo apa tujuan hidup kita?" Aku merentangkan tangan kanan dengan telapak membuka seolah akan menggapai cahaya.

"Hah? Lo kenapa, sih? Laper?" Laki-laki yang duduk bersila di lantai itu terkekeh.

"Pusing sama ocehan lo yang itu-itu saja seminggu ini," sahutku sambil memutar tubuh.

Niscala seolah berpikir. Aku merasa sosoknya yang sedang diam itu cukup tampan. Meskipun sedikit gemulai, Niscala adalah laki-laki yang lurus. Jalan hidupnya pun terbilang tenang. Lahir di keluarga berkecukupan dan memiliki otak encer.

"Tujuan hidup gue sederhana. Jadi perancang perhiasan nomor satu di Indonesia."

Jawaban sahabatku terdengar hebat sekaligus lugu. Ini seperti bertanya pada anak TK, apa cita-cita mereka. Aku tersenyum seraya kembali memejamkan mata.

"Aadya pulang, loh, minggu ini. Kangen gue sama dia," ujar Niscala lagi setelah terdiam cukup lama. Beginilah kami kalau mengobrol. Melompat dari satu hal ke hal lain tanpa rencana.

Aadya adalah sahabat masa kecilku. Kami berdua tumbuh bersama dan bertemu Niscala di sekolah dasar. Awalnya Aadya dan Niscala seringkali bertengkar. Namun, setelah melalui rintangan panjang, persahabatan kami akhirnya tumbuh.

"Lagian dia kuliah jauh banget," sahutku pelan.

"Plis, deh, Far. Aadya itu cuma kuliah di Bandung. Nggak nyampe tiga jam juga nyampe." Niscala terkekeh sambil mengetik dengan kecepatan super. Aku tidak menyahuti ucapannya, hanya ikut terkekeh.

"Kala ... gue serius mau tidur sebentaran." Kembali kucoba memejamkan mata.

Kali ini Niscala sepertinya menyerah. Dia tidak bersuara dan menyetel musik lembut. Campuran bunyi keyboard laptop yang teredam bersama dengan musik lembut, membuat kesadaranku mengawang lalu menghilang dalam ketiadaan.

Body, Mind & SoulOn viuen les histories. Descobreix ara