Bab 5: Diet Raw Food

83 20 1
                                    

Hari ini tepat dua minggu setelah Gavin memperkenalkan Diet Mediterania. Efek diet ini ke tubuhku, lumayan berat. Aku menatap cermin dan bergidik sendiri. Sepertinya ada yang salah dengan diet tersebut ke dalam diriku.

"Farlaaaa!" Suara membahana Mama terdengar sampai aku terlonjak kaget.

Aku bergegas keluar kamar dan menuruni tangga sebelum suara Mama kembali membahana. Kucari orang tua kesayanganku yang biasanya ada di dapur. Benar saja, Mama ada di dapur, sedang tertawa-tawa bersama dengan seseorang.

"Kenapa muka lo?" tanya Gavin dengan raut wajah terkejut.

"Bengkak," ucapku sambil duduk di sebelah Mama dan menyenderkan kepala di bahunya. Otomatis, mama langsung mengusap rambutku.

"Kayanya dia kebanyakan makan kacang-kacangan, Vin. Duh, Farla ... kan, Mama udah bilang kalau kamu nggak boleh kebanyakan makan kacang. Break out, tuh jadinya." Mama menyerocos tanpa melihat bagaimana raut wajah Gavin berubah-ubah.

Aku melihat wajah Gavin yang merasa bersalah, kemudian menahan tawa sebelum akhirnya terlihat kasihan. Lama-lama ekspresi laki-laki itu malah membuatku tertawa. Aku terbahak sampai terbungkuk.

"Kenapa kamu?" tanya Mama curiga melihatku mendadak terbahak.

"Muka Gavin, Ma. Aku makan kacang itu gara-gara Gavin. Dia saranin aku diet Mediterania." Aku mengusap air mata, sementara Gavin semakin salah tingkah.

"Kalian ini, ya, masih muda kok sibuk saja sama diet. Salah-salah, kan efeknya bisa kemana-mana." Mama masih mengomel, tetapi tetap membuatkan jahe hangat untukku.

Setelah jahe hangat yang masih mengepulkan asap tersedia di depanku, Mama bilang mau main ke rumah keluarga Tamawijaya. Aku hanya mengangguk. Sudah terbiasa kalau ada anak-anak Tamawijaya yang main ke rumah, orang tuaku pasti tidak mau kalah.

"Lo beneran itu jerawat gara-gara makan kacang? Gara-gara kosmetik, kali." Gavin berkata setelah Mama pergi dan aku berhasil memaksanya untuk menemani ke dokter kulit.

"Menurut lo? Gue kan jarang jerawatan sampai parah gini. Lagian ya, gue nggak ganti kosmetik. Parah banget ya muka gue?" Aku bertanya dengan wajah memelas.

Gavin kembali terbahak. Jemarinya mengusap kepalaku untuk menenangkan. "Nggak apa-apa, masih cantik. Nanti juga sembuh."

Ucapannya membuatku sedikit senang. Jarang-jarang Gavin memujiku cantik. Namun, kesenangan itu langsung lenyap saat mendengar ucapan Gavin berikutnya.

"Cantik kalau dilihat sambil merem." Tanpa dosa, laki-laki terbahak sampai aku mencubitnya gemas.

Untungnya setelah itu Gavin kembali waras. Dia bersedia menemaniku ke dokter kulit karena aku tidak berani sembarangan menggunakan obat untuk jerawat yang nyaris memenuhi seluruh wajah. Laki-laki itu bahkan langsung menyuruhku reservasi di klinik kesehatan kulit dan mengantar ke sana.

Dokter kulit yang kudatangi memeriksa wajah, lalu merekomendasikan serangkaian perawatan. Sementara aku melakukan perawatan, Gavin menunggu di kafe dekat klinik. Aku yakin dia akan menelepon Niscala untuk menemaninya.

"Kamu jangan makan kacang-kacangan dulu untuk sementara, ya. Terlalu banyak kacang, bisa membuat jerawat timbul. Kalau mau diet, coba dengan makan raw food." Dokter menyarankan saat perawatanku selesai tiga jam kemudian.

Aku hanya mengangguk, masih tidak paham dengan metode raw food. Apakah aku harus makan rumput seperti sapi? Kuputuskan untuk mencari tahu metode tersebut setelah pulang ke rumah.

Ponselku berdering dengan nama Niscala tertera pada caller id. Suara cemprengnya yang membahana langsung terdengar saat aku menekan tombol hijau.

Body, Mind & SoulWhere stories live. Discover now