Bab 7: Diet Mayo

71 16 3
                                    

Aku terbaring di tempat tidur dalam keadaan bersih dan kenyang. Kebetulan sekali hotel ini punya toko souvenir jadi aku bisa membeli kaus bergambar ondel-ondel dan celana tidur. Sementara Gavin memilih kaus berwarna hitam bergambar monas. Kami berdua seperti turis sekarang.

"Kapan, ya, terakhir kita nginap bareng?" tanya Gavin sambil menekan tombol remote control untuk mencari saluran televisi.

"Sepuluh tahun lalu, mungkin," jawabku asal karena sudah mengantuk.

"Bisa jadi." Suara Gavin juga terdengar samar. Mungkin dia juga sudah mengantuk.

Hening sejenak dalam ruangan dengan penerangan samar ini. Hanya ada suara lirih televisi yang menayangkan entah apa. Aku mulai tenggelam dalam ketiadaan. Bagaimanapun hari ini melelahkan.

"Gimana kalau kita main tebak-tebakan?" Suara Gavin seolah menggelegar merasuk telingaku.

"Aduh! Gue baru mau mimpi, Gavin!" seruku marah.

"Ngapain coba tebak-tebakan malam-malam?" Semburku lagi sementara Gavin hanya terkekeh.

"Gue nggak bisa tidur, Far." Suara saluran televisi berpindah kembali terdengar.

"Ya, coba merem biar tidur." Aku membalikkan badan dan menelusupkan sebelah tangan ke bawah bantal.

"Far ... kenapa lo nggak bilang?" Gavin kembali bersuara.

Aku mengeluh tertahan. Laki-laki menyebalkan ini berisik sekali. Dia terus menanyakan banyak hal seperti ibu-ibu menawar barang dagangan di pasar. Kubalikkan badan menghadap langit-langit kamar dengan pendar cahaya televisi.

"Bilang apa?" tanyaku.

"Kalau ada orang-orang yang gangguin lo. Waktu gue ke sana itu, lo juga lagi digangguin, kan? Tadi juga ada orang yang ngunciin lo. Gue tahu lo di-bully tapi nggak kaya gini juga. Ngunciin lo di kelas itu nggak lucu banget." Gavin berkata pelan.

Ucapan laki-laki yang berbaring di extra bed samping ranjang ini membuatku tersadar. Mungkin semua bentuk gangguan yang kuterima adalah bullying. Namun, aku terlalu lelah untuk menanggapi ucapan Gavin.

"Far? Lo udah tidur, ya?" Terdengar suara badan yang bergeser di atas kasur.

Wajah Gavin muncul begitu saja di samping ranjang, membuatku reflek memukul pundaknya. Dia tertawa saat melihatku tidak jadi tertidur, lalu langsung pindah ke ranjangku dan duduk bersila.

"Begadang, yuk," ajaknya sambil tertawa.

Aku mengeluh terang-terangan. Ini sudah jam sebelas malam dan biasanya aku sudah tidur cantik memeluk guling. Manusia satu ini menyebalkan sekali.

"Oke oke. Gue bangun." Aku mengangkat badan dan menyender pada kepala tempat tidur.

"Gitu, dong. Jadi kenapa mereka gangguin lo?" tanya Gavin ingin tahu.

Sebenarnya pada semester satu, aku pernah dekat dengan Felicia. Dia cantik dan berbakat serta pandai berteman. Namun, sejak Felicia menjadi selebgram, dia mulai menjauh. Atau mungkin aku yang menjauh? Entahlah.

Aku juga tidak tahu apa yang menyebabkan Felicia begitu benci padaku. Hal yang kuingat adalah pada suatu hari, Felicia marah karena aku mendapat IPK tertinggi di angkatan. Kemudian dia berhenti mengajakku bicara. Begitulah awal mulanya.

Gavin mengelus dagunya seolah berpikir. Rambutnya yang berantakan dan tidak tertata membuatku teringat pada masa silam, ketika hidup jauh lebih sederhana. Kumiringkan kepala, menunggu laki-laki di hadapanku bicara.

"Mungkin ada kesalahpahaman yang terjadi di antara kalian. Mau mencoba untuk menyelesaikan? Ini kepala jangan miring-miring kenapa, sih? Nanti sakit leher lo." Gavin mengulurkan tangan dan memperbaiki kepalaku sambil tertawa.

Body, Mind & SoulWhere stories live. Discover now