Bab 3: Diet Clean Eating

94 24 1
                                    

Aku bersenandung sambil menyiapkan sandwich yang akan dibawa untuk piknik hari ini. Kejadian pingsan dan berakhir di rumah sakit seminggu lalu, membuatku harus menghentikan diet berbau lemon. Jujur, sekarang malah aku mual kalau ingat aroma lemon. Apalagi ditambah ingatan aku ndusel-ndusel ke Gavin. Rasanya mau cangkok ingatan orang lain saja untuk membuang bagian memalukan itu.

"Sunshine! Lo bikin sandwich? Punya gue, nanti gue bikin sendiri saja." Gavin mendadak masuk ke dapur diikuti Aadya yang asyik mengobrol dengan Mama.

Dua bersaudara Tamawijaya ini bagaikan perpanjangan keluargaku. Rumahku adalah rumah mereka juga. Gavin yang baru masuk ke dapur, langsung mengambil selembar roti dan mengoleskannya dengan selai kacang banyak-banyak.

"Lo makan selai kacang pakai roti, Vin?" sindirku melihat laki-laki itu nyaris menuang separuh selai kacang.

"Kala belum datang, nih? Lama ya, dia?" Gavin tidak memedulikan sindiranku dan terus membuat sandwich.

"Mudah-mudahan dia pakai baju normal," sahutku pelan.

Sekali waktu, kami pernah piknik di danau dekat rumah. Aku hanya bisa bertahan sepuluh menit sebelum akhirnya tertawa sampai nyaris mengompol. Semua gara-gara Niscala memakai segala macam atribut seperti pawang lebah karena tidak mau terbakar matahari sampai bentuk pertahanan supaya tidak digigit semut dan nyamuk.

Berpiknik adalah salah satu kegiatan bonding kami selain main game di Timezone. Sebuah kegiatan oldschool warisan keluarga kami. Tamawijawa bersaudara bisa bergaul seperti remaja pada umumnya, clubbing atau sekadar ngopi di kafe. Hanya saja, Niscala tidak suka clubbing dan aku pusing kalau terlalu lama di tempat ramai dan berbau asap tembakau.

Pilihan teraman adalah duduk minum kopi di kafe atau ambil paket ekonomis piknik pinggir danau sambil gosip. Kebetulan lagi, di komplek rumahku ada danau buatan yang cukup asri buat jogging dan piknik.

Aadya mendekatiku sambil membawa keranjang anyaman dan mulai membantu untuk memasukkan kotak makan berisi sandwich. Dia terdiam cukup lama di sebuah kotak yang berisi sayur segar.

"Lo diet aneh-aneh lagi, Far?" tanya Aadya dengan mata memicing curiga.

Aku menghela napas. Saat aku diperbolehkan keluar dari rumah sakit, dokter melarang untuk melakukan diet ekstrem. Aku pun sudah membaca beberapa literatur tentang diet yang aman bagi badan. Pilihanku jatuh pada diet clean eating, yang sepertinya mudah.

Diet ini hanya membuatku harus memakan makanan segar, organik dan kaya nutrisi. Masalah utamanya hanya aku malas untuk mengolah jadi kebanyakan aku hanya makan salad dan ayam atau daging panggang.

"Ini nggak aneh, Dya. Gue cuma nggak makan yang digoreng, junk food, makanan instan dan beralih ke yang organik," jawabku sambil tertawa kecil.

"Mie instan nggak makan, dong?" tanya Gavin sambil memasukkan sandwichnya ke dalam kotak dan menjilati tangan yang terkena selai kacang.

"Iyuhhh, jorok banget, deh." Aadya melempar serbet ke arah kakaknya yang terkekeh lalu membalas lemparan serbet itu. Sigap, aku mengambil serbet yang melayang di udara sebelum dapur menjadi arena lempar serbet nasional.

"Cuci tangan, Vin. Jangan jorok. Lo juga! Jangan lempar-lempar serbet." Aku menunjuk pada Gavin dan Aadya sementara mereka saling menjulurkan lidah. Kekanakan memang.

Sepuluh menit kemudian, kami sudah berjalan menuju danau. Niscala menyusul katanya karena masih sibuk. Aku hanya berharap dia tidak sibuk mengenakan pakaian ajaib yang memalukan.

Tepi danau sore itu cukup ramai. Ada beberapa saung kecil yang disediakan oleh developer perumahan supaya orang-orang bisa beristirahat atau berpiknik. Makanya aku selalu berkata kalau Niscala itu berlebihan. Kami kan piknik di dalam saung kecil itu, apalagi ini sore hari.

Body, Mind & SoulOnde as histórias ganham vida. Descobre agora