02. Bertemu Kaivan

179 25 6
                                    

ㅡtak ada kegeniusan tanpa kegilaan di dunia ini.

***

"Jangan pegang pinggang gue! Lo budeg, ya?!"

Berlian makin mengeratkan dekapannya. "Ini pertama kali aku naik motor."

"What the—"

"Maaf, harusnya aku tadi bilang dulu ke kamu."

"Jadi, ceritanya ini lo takut?" Raga menatap Berlian lewat spion motor, dan sungguh benar wajah cewek itu pucat. Namun, Raga tidak bisa terus-terusan dipeluk seperti ini karena dia takut jadi bahan obrolan ketika sampai di sekolah.

Melihat bagaimana Berlian memejamkan matanya, jemari yang gemeteran, Raga akhirnya pasrah. Dia juga tidak bisa memaksakan kehendak. Dia biarkan kedua tangan Berlian memeluk pinggangnya dengan sangat erat.

"Aku dan keluargaku pernah kecelakaan," ungkap Berlian tanpa Raga minta. "Ayah dan ibuku meninggal di tempat, sementara aku mengalami luka cukup parah. Hari itu ayahku baru pertama kali punya motor dan kami berencana untuk pergi ke pantai, melihat matahari terbenam. Tapi, waktu di persimpangan jalan, ada mobil colt-diesel mengalami rem blong sehingga motor yang dikendarai ayahku terpental jauh."

Raga ingin bertindak untuk menenangkan, karena dia tahu memori di dalam hippocampus akan sulit hilang. Raga masih menatap Berlian sesekali lewat kaca spion, air mata cewek itu terus merembes. Hidung Berlian bahkan merah. Ini menandakan bahwa memang Berlian memiliki trauma masa lalu dan pastinya tidak akan bisa untuk pergi ke sekolah bersamanya di lain waktu.

"Apa yang udah terlewat, biarin aja. Masa di hari pertama sekolah lo sedih-sedih sih?!"

"Pelan-pelan bawa motornya, Raga."

Raga berdecak, padahal gerbang sekolah sudah kelihatan. Seolah sadar mereka tidak harus terlihat bersama untuk masuk, Raga akhirnya memelankan laju sampai motornya berhenti di bawah deretan pohon pinus.

"Lo jalan aja. Gue nggak bisa masuk sama lo."

"Kenapa?" tanya Berlian bingung. "Kamu nggak suka ya sama aku?"

Raga menarik napas, dia melirik sekitar. Ada banyak hal yang harus Raga sampaikan pada Berlian tentang SMA Arwana. "Lo udah searching tentang sekolah ini, kan? Gue harap udah, tapi gue harus menekankan kalau sekolah ini benar-benar ketat. Para muridnya nggak kenal sama yang namanya simpati, empati, apalagi hati. Mereka semua palsu, jadi jangan harap lo bisa menemukan teman di sini." Raga memandang mata Berlian. "Saran dari gue, lo harus fokus ke tujuan lo. Papa gue nggak mungkin masukin lo ke sekolah ini kalau bukan ada sesuatu yang spesial dari diri lo. Paham apa maksud gue, kan?"

Berlian mengangguk. Setelah Raga memastikan semuanya aman, dia langsung menghidupkan motor kembali untuk masuk ke halaman sekolah.

"Cepat, Raga!" teriak Pak Mamatㅡsatpam sekolah yang sudah lama mengenal Raga. Pluit di bibirnya berhembus menciptakan suara yang nyaring. Beberapa murid juga berlarian untuk masuk, membuat Raga menatap ke arah belakang sesaat memasuki halaman, dan anehnya Berlian tidak kelihatan sama sekali di pandangannya.

"Itu cewek kocak ke mana?" Raga menggeram, dia memarkirkan motornya, lantas berlari kecil ke arah gerbang sekolah yang sudah ditutup. Pak Mamat menatapnya dengan ekspresi bingung. Arah matanya searah dengan mata Raga.

"Lagi lihatin apa?"

"Bentar Pak, nggak usah kepo." Raga berusaha mendongak, mencari sosok Berlian melalui celah gerbang sekolah. Butuh waktu sepuluh detik untuk Raga menemukan Berlian di balik salah satu pohon, sedang menunduk hanya untuk memberikan seekor kucing makan. "What the hell," gumam Raga pelan.

Uncontrollably ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang