03. Diskusi

179 23 4
                                    

ㅡkeimanan bukanlah menjadi landasan manusia mampu memanusiakan manusia.

***

SMA Arwana memiliki selasar di seberang koridor ruang musik, di sudut antara gedung A dan B. Letaknya tidak jauh dari kantin yang menyediakan menu varian berbeda setiap hari untuk semua murid. Biasanya, setelah para murid makan, beberapa dari mereka akan berteduh merasakan angin dari celah-celah kanopi akasia.

Saat tahu bahwa sedang ada diskusi dadakan di sana, Raga ingin memutar balik. Bukan apa-apa, dia hanya tidak ingin dianggap superior, yang selalu menjadi penjawab atas semua diskusi yang ada. Dia benci dibanding-bandingkan, sebab hidup bukan untuk berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik. Terlebih dia melihat ada Kai tengah berdiri, menjelaskan sesuatu dengan kharisma apa adanya.

Kharisma yang penuh dengan kepalsuan.

Di luar sekolah, Kai adalah si penjahat kelamin. Pacarnya banyak, suka ganti sana-sini. Raga yakin waktu bulan kemarin saat cowok itu izin tiga minggu ke Singapura pasti untuk pengobatan atau sesi terapinya atas HIV atau herpes yang dia derita alih-alih mengikuti penggalangan dana untuk korban genosida di Timur Tengah.

Raga benci Kai bukan persoalan itu saja. Ada banyak perbuatan Kai yang membuat Raga terusik. Entah itu dia berkoar-koar di sosial media tentang nilai satu pelajarannya lebih tinggi daripada Raga, pamer ke followers bahwa keluarganya sering mengadakan charity ke panti asuhan atau dia yang menjadi guru untuk para pengamen yang ada di Pasar Minggu. Penggemar Kai pasti jejeritan melihat itu, tapi tidak ada yang tahu bahwa itulah yang Kai butuhkan untuk menaikkan image keluarganya.

Raga akan berjalan ke arah perpustakaan ketika Kala mendadak menahan satu tangannya. Raga akhirnya tersenyum saat melihat cowok itu.

Di antara ratusan murid, hanya Kala yang menurut Raga paling bisa dikategorikan sebagai seorang teman. Kala juga dari sebuah desa yang ada di Sumatera, penerima beasiswa juga. Seseorang yang Raga kenal pertama kali saat MOS hingga terjalinlah pertemanan yang tidak begitu dekat, juga tidak terlalu jauh. Namun, mereka selalu memiliki pemikiran yang sama.

"Lo nggak cek grup angkatan?"

Raga menaikan satu alisnya. Dia bukan tipe manusia yang ketergantungan dengan ponsel. "Ada apa?"

"Identitas cewek lo kebongkar."

Raga berdecak. "Dia bukan cewek gue."

Kala mengulum tawanya. "Ya, apa pun itu, gue rasa lo harus pergi ke sana."

Kala menarik tangan Raga agar berjalan ke arah kerumunan itu, sementara Raga melangkah dengan separuh hati.

Satu telunjuk teracung saat mereka tiba di sana. Tanpa menebakpun, Raga tahu itu milik Berlian. Cincin kupu-kupu di jari manis Berlian menjadi sebuah pengingat buat Raga.

"Semua agama tidak ada yang mengajarkan keburukan. Aku tau, Islam adalah mayoritas penduduk di Indonesia, tapi bukan berarti agenda Maghrib Mengaji atau kegiatan kerohanian yang menyangkut Islam bisa menanggulangi tawuran. Buktinya, ada banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh orang beragama Islam. I know you all know what I mean."

"Yang bilang kita semua harus mengikuti aturan Islam siapa?" Kelakar memenuhi selasar setelah Naomi memberikan bumerang kepada Berlian.

"Atau agama apa pun itu, aku rasa tidak akan begitu efektif."

Kai tersenyum lebar. "Bisa dijelaskan kenapa bisa nggak begitu efektif, Lia?"

Berlian kini menjadi pusat perhatian orang-orang.

"Logis saja, Kai. Pembentukan moral dengan cara represif nggak akan mampu membuat pelajar untuk mencoba atau bersungguh-sungguh melakukan vandalisme. Sangat mungkin hal ini jika dilakukan akan menimbulkan masalah baru."

Segenap kerumunan hening. Hanya desan angin yang terdengar selain suara Berlian.

"Dalam jangka panjang, takutnya berubah menjadi militansi keagamaan, seperti terorisme." Berlian menghela napas. "Teror adalah salah satu fenomena yang memiliki alur cukup panjang dalam sejarah. Hal ini dibuktikan dari akar kata teror itu sendiri, yaitu adanya frase cimbricus teror. Frase berbahasa Romawi tersebut berarti "untuk menakut-nakuti" yang menggambarkan kepanikan yang terjadi saat prajurit lawan beraksi sengit dan keras."

"Nggak usah berbelit-belit deh. Kita lagi bahas tawuran, kenapa lo malah beralih ke pernyataan terorisme?" Naomi ternyata sudah tidak sabar dengan pendapat Berlian yang lain.

"Oke. Menurutku, hal yang harus kita lakukan adalah melakukan perubahan. Anyway, ada yang udah pernah baca The Three Musketeers?"

"Gue," ucap Raga keceplosan. Seketika perhatian beralih pada Raga. Para murid jadi memandang dua remaja itu.

"Novel itu ber-genre petualangan untuk mencari keadilan, ditulis oleh Alexandre Dumas dan Auguste Maquet. Gue tahu, poin yang lo maksud pasti saat d'Artagnanㅡtokoh utamanya yang gagal menjadi bagian dari Musketeers of the Guard, tapi akhirnya dia bisa berteman dengan Athos, Porthos, dan Aramis yang membuat mereka terlibat dalam urusan kenegaraan."

Berlian menggeleng. "Justru yang aku maksud adalah tim Musketeers of the Guard, Para Musketeer Pengawal yang mengenakan seragam militer tipe awal dengan tabard, dikenal sebagai soubreveste, yang menunjukkan bahwa mereka milik Raja, dan sebuah salib putih bersulam yang menunjukkan fakta bahwa mereka dibentuk selama pemberontakan Huguenot untuk mendukung tujuan Katolik. Mereka memiliki ambisi besar untuk mencari keadilan, dengan keimanan yang begitu kuat. Namun, akhirnya mereka memiliki perbedaan sehingga terpecahlah mereka menjadi dua kompi. Pada tahun 1664, kedua kompi tersebut direorganisasi: satu kompi mengambil nama Grey Musketeers dari warna kuda serasi mereka, sedangkan kompi kedua disebut Black Musketeers, dipasang di atas kuda hitam. Sama seperti kita, persoalan agama nggak mengukur kita menjadi pribadi yang baik. Setiap kepala berbeda-beda. Ada yang peduli, ada yang pura-pura peduli, bahkan ada yang sama sekali tidak peduli. Hal itulah yang mendasari bahwa kegiatan kerohanian tidak bisa mengubah perilaku manusia."

"Ya karena tafsir secara tekstual dalam kitab suci nggak memberikan solusi dari semua polemik seiring konstruksi makin membesar di era serba canggih ini."

"Betul, Raga. Itu maksudku. Kenapa bukan kecerdasan mereka saja yang dilatih untuk meninggalkan aksi tawuran itu daripada menguji keimanan seseorang? Dalam kasus ini, aku menyarankan agar pemerintah atau orangtua lebih peka atas kecerdasan setiap anaknya, entah itu berbentuk visual, verbal, musikal, kinestetik dan matematis. Sehingga jika itu dilatih, akan menciptakan passion. Aku yakin, kita semua setuju bahwa kecerdasan manusia nggak berfokus terhadap nilai yang didapat dari sekolah saja, tapi juga termasuk dengan kepekaan mereka terhadap suara, gambar, bola, alat musik dan berbagai hobi lainnya."

Tepuk tangan bergemuruh, Kai tersenyum lebar sembari memeluk lengan Berlian. Raga mengamati dengan seksama, dan ada sesuatu di hatinya yang terasa panas.

"Jadi, udah pada dapet maksud Berlian, kan? Tawuran pelajar bisa diatasi dengan melatih skill mereka apa pun itu. Karena, urusan keagamaan itu ranahnya privasi setiap manusia dengan Tuhan."

"Apa cuma gue yang ngelihat kalau Berlian risi dipeluk sama Kai?" Kala berbisik pada Raga. Senyum jahilnya terbit. "Menurut gue lo harus jaga cewek lo dari musang kayak dia deh, karena gue takut korbannya makin bertambah."

Raga menjadi mengepalkan tangannya erat. Dia rasa, dia harus bertemu Kai sepulang sekolah.

***

Halo, terima kasih yang sudah membaca cerita ini. Jangan lupa tinggalkan jejak selalu, ya. <3

(Kala Langit Senja)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Kala Langit Senja)

Uncontrollably ScarsWhere stories live. Discover now