Chapter 7 - Drop Out

10 2 0
                                    

DROP OUT SAJA.

Tulisan itu tertulis jelas di lembaran kuis mata kuliah persamaan differensial biasa dan parsial yang kupegang.

Satu, dua, tiga.

Kemudian kuremas kertasnya dan kumasukkan ke dalam tas. Mungkin setelah keluar kelas nanti, akan kupindahkan ke tempat sampah organik.

"Gimana, Jav?" tanya June yang duduk di depanku sambil menolehkan kepala.

"Lumayan, lah."

Lumayan buat nambahin isi tong sampah maksudnya, batinku.

Tiba-tiba Profesor Budi berbicara sebelum kelas bubar, mahasiswa yang tadinya riuh menjadi hening seketika. "Masih ada yang mengerjakan kuis saya dengan asal-asalan," ucapnya dengan suara berat.

"Sangat mengecewakan. Sudah susah-susah masuk jurusan ini, tapi justru menganggap kuliah ini bercanda. Kalau begitu lebih baik minta drop out. Kasihan, calon mahasiswa lain yang menginginkan kursi Anda di sini, tapi gagal di ujian seleksi masuk. Karena itu, saya tidak memberi mahasiswi ini nilai, tapi saya tulis 'drop out' di kertas ujiannya."

Beberapa mahasiswa mulai gaduh, dan sibuk mengecek kertas kuis satu sama lain. Kurasakan empat teman indekosku serta Ryo—dan mungkin beberapa teman lain—melempar pandangannya ke arahku. Tanganku mulai berkeringat dingin. Aku menundukkan pandangan, takut beradu pandang dengan Profesor Budi, karena aku yakin beliau hafal nama kami, apalagi mahasiswi di angkatanku hanya belasan orang. Kenapa Prof. Budi ngomong mahasiswi, sih? pikirku berkecamuk.

Setelah keluar kelas, Aya dan Tiar menggamit kedua tanganku agar mengikuti mereka menuju kantin. Sial, kertas itu tidak jadi kubuang. Jujur saja, kuis kemarin memang tidak ada harapan, aku mengerjakannya hanya sesuai dengan ingatan materi yang pernah aku dengar atau aku baca. Masalahnya, cuma dua puluh persen materi yang terbersit di ingatanku. Delapan puluh persennya, aku pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan begini hasilnya. Tidak ada nilai, tapi justru sebaris kalimat dari Prof. Budi. Apalagi teguran tersirat tadi itu, membuat pikiranku ke mana-mana. Takut juga.

"Nanti malem makan sate kelapa, yuk!" celetuk Wita yang berjalan beriringan dengan kami, sedangkan June sepertinya berjalan di belakangku sambil memainkan ponsel seperti biasa.

Untung saja mereka tidak menanyaiku atau membahas ucapan Profesor Budi saat di kelas tadi

"Iya, setuju. Kita lama enggak makan berlima di luar, lho." Tiar mengangkat telunjuk kanannya.

"Lo bukannya diet, cuy?" Aya memutar kepalanya empat puluh lima derajat ke Tiar yang tengah menggandeng tangan kananku.

"Enggak, ini free-day. Gue bebas makan apa aja," ucap Tiar bahagia.

"Padahal biasanya apa aja juga dimakan," gumamku yang dibalas Aya dengan cekikikan.

Kantin sudah ramai karena memang jam makan siang. Kami berlima berpencar mencari menu makanan masing-masing. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada whatsapp dari Haris.

Haris

[Jav, lo ajak temen-temen lo makan di deket bangku gue, dong.]

Aku celingukan mencari Haris, tapi tidak kutemukan sosoknya karena terlalu ramai.

Haris

[Arah jam 9, dekat tangga.]

[Udah gue jagain bangku buat lo.]

Kulihat Haris melambaikan tangan, dia duduk sendirian dengan senyumnya yang superlebar. Kami memang tidak satu jurusan. Haris mengenal Tiar dari kelas mata kuliah bersama yang wajib diikuti oleh mahasiswa Jurusan Teknik Fisika dan Teknik Elektro. Kebetulan kami bertiga satu kelas. Haris maunya dekat dengan Tiar, tapi justru lebih dekat denganku karena Tiar terlalu jutek. Ujung-ujungnya, aku yang menjadi perantara Haris agar bisa dekat dengan Tiar. Laki-laki macam apa itu yang tidak berani PDKT sendiri!

Titip SalamWhere stories live. Discover now