Chapter 14 - Disingkirkan

7 1 0
                                    

Satu hari setelah aksi masa, Ogi terus menelepon, tapi sengaja tidak kujawab. Aku masih mengurung diri di kamar yang kukunci sejak semalam. Mama terus mengetuk pintu dan hanya kujawab dengan singkat karena Mama akan terus menerus memanggil jika tidak ada jawaban. Mungkin khawatir jika tiba-tiba aku melarikan diri.

"Jav, ada temanmu di depan, Aya sama Ogi. Keluar, ya," ucap Mama ketika jam menunjukkan pukul sebelas siang.

Aya memang pernah kuajak sekali ke rumah saat semester satu karena ada perlengkapan ospek yang ketinggalan. Aku tidak menyangka jika dia masih ingat. Namun, aku masih malas bertemu siapa-siapa sekarang. Aku butuh waktu untuk memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya. Tidak mungkin menuruti kemauan Papa semalam. Pulang ke rumah dan diantar-jemput hanya akan membuatku terpenjara seumur hidup.

Aya dan Ogi hanya mampu menunggu tiga puluh menit tanpa kutemui. Kudengar Mama menemani mereka mengobrol dan kemudian pamit.

"Javitri, jangan begini terus, dong. Kamu enggak makan dari kemarin, sekarang pintu dikunci. Ngomong sama Mama, kamu perlu bantuan apa?"

Mama sudah cukup kesulitan menghadapi Papa yang temperamen, aku tidak mau membebani pikirannya lebih banyak lagi. Karena itu, aku tidak pernah menceritakan apapun ke Mama termasuk yang kurasakan dan kupikirkan. Sejak dulu, aku dan Mama seolah memiliki jarak yang seharusnya tidak tercipta di antara ibu dan anak. Mama lebih dekat dengan Mas Januar, sedangkan aku justru dekat dengan Papa. Namun, itu dulu.

"Jav, ini ada titipan dari Ogi. Buka pintunya," ucap Mama tidak menyerah.

Aku turun dari tempat tidur dan membuka sedikit pintu. Mama menyerahkan sekantong kresek dari celah.

"Makan, ya?" tawar Mama ke sekian kali.

Aku menggelengkan kepala. "Nanti aja aku ambil sendiri."

"Kamu pengin makan apa? Biar Mama masakin."

Aku tidak menjawab, hanya menatap wajah Mama yang menyiratkan kelelahan.

"Mau pepes ikan pedas?" tawar Mama dengan menyunggingkan sedikit senyuman.

"Terserah Mama aja, kalau enggak repot."

"Enggak, lah. Kamu belum makan dari kemarin, padahal harus minum obat," kata Mama cemas.

Aku sampai lupa kalau punya luka di rahang dan jahitan yang masih basah tertutup kasa. Karena terlalu banyak yang mengganggu pikiranku akibat rencana yang tidak berjalan semestinya. Mama sudah sibuk di depan kulkas mencari bahan memasak. Aku masuk lagi ke kamar dan membuka kantong yang terasa berat.

Dua kebab berukuran jumbo, satu cup kopi dingin, dan dua magnum classic. Aku terkekeh melihat isinya. Kubuka magnum yang hampir mencair, bisa-bisanya mereka membawa es krim saat menjenguk orang sakit. Ada plastik bening berisi gelang rajut hitam yang kupinjamkan ke Ogi kemarin malam.

Kuangkat plastik itu tinggi-tinggi, kuperhatikan simpul rajutan yang masih bagus. Sebenarnya, gelang ini milik Mas Januar, dia memakainya setiap hari sejak dia kuliah. Aku yang memintanya paksa karena itu bagus. "Mas, gue harus ngapain sekarang?" gumamku, sambil mendongak, menatap gelang hitam itu.

Tiba-tiba tebersit untuk keluar dari rumah sekarang juga. Papa sedang kerja, mungkin ini kesempatanku. Aku meraih ransel dan kumasukkan kantong kresek yang masih berisi makanan dan minuman tadi. Membuka pintu sambil mengendap-endap dan tanpa berpamitan. Kemudian berjalan menjauh dari rumah sebelum memesan ojek online. Pertama, aku harus mengambil motor di indekos dulu. Kalau aku sembunyi di indekos, tentu saja Papa dan Mama akan sangat mudah menemukanku.

"Javitri! Tadi gue ke rumah lo, terus sekarang tiba-tiba nongol di sini aja!" pekik Aya yang melihatku membuka pintu kamar untuk mengambil kunci motor.

"Gue mau ambil motor, Ya. Lo tahu enggak, Ogi di mana?" Ponselku sengaja kumatikan setelah memesan ojek online tadi.

"Kayaknya ke kampus, sih. Soalnya gue sama dia pisah di gerbang kampus tadi," jawab Aya. Aku kira dia pulang, ternyata tidak. Katanya di grup whatsapp penghuni indekos, kegiatan UKM membuatnya harus ke kampus selama beberapa hari.

"Ya, kalau ada Mama atau Papa gue, bilang aja lo enggak tahu dan enggak ketemu gue hari ini."

"Heh? Lo kabur dari rumah?"

"Terpaksa."

"Terus lo mau ke mana sekarang?"

Aku bergeming, bukan tidak mau menjawab, karena aku sendiri tidak ada jawaban. "Gampang, deh. Nanti gue pikirin di jalan." Aku sudah mendapat kunci motorku dan buru-buru turun.

Aya mencengkeram pergelangan tanganku untuk menahan. "Jav, itu luka lo enggak apa-apa?" tanyanya.

Aku meringis. "Enggak apa-apa, cuma dua jahitan. Tangan sama kaki gue masih bisa gerak ini." Aku menepis tangan Aya, takut jika Mama menyusulku pulang. "Gue cabut dulu."

Kedua, aku akan ke sekretariat BEM mencari Ogi dan Bang Dito. Setelah kupikirkan, aku bukan malas bertemu siapa-siapa, tapi aku cuma ingin menghindari orang tuaku dan kemarahan Papa. Makin sering aku mendengar Papa mengomel, makin penat isi kepalaku.

"Javitri?" panggil Ogi setengah tidak percaya karena aku tiba-tiba muncul dari pintu sekretariat. Ternyata sekretariat BEM sedang banyak orang. Setelah kuperhatikan, mereka adalah peserta aksi masa kemarin yang tergabung dalam BEM SI. Mereka semua memandangku, begitu juga dangan Bang Dito dan Mas Pandu yang kemarin menghilang dan menjadi tidak kasat mata ketika terjadi bentrokan.

Aku ragu untuk masuk, kakiku masih mengajak berdiri di ambang pintu. Aku bingung menerjemahkan tatapan mereka. Kasihan, menyalahkan atas kejadian kemarin, atau berharap aku tidak ada di sini?

"Masuk, Jav." Ogi berdiri dan mendekatiku.

"Jav, gimana kondisi lo? Itu, lukanya enggak apa-apa?" timpal Bang Dito yang juga beranjak dan berjalan ke arahku.

"Eh?" Hanya itu yang keluar dari mulutku.

"Masuk," suruh Ogi lagi.

"Hah?" Aku menggaruk rambut. Mengapa mereka semua tiba-tiba diam dan rasanya jadi canggung? Apa mereka sedang membicarakanku?

"Lo enggak mendingan istirahat aja dulu?" ucap Bang Dito yang seharusnya menunjukkan khawatir, tapi ucapannya justru terdengar mengusir.

"Dia mau masuk, Bang," sahut Ogi sambil menunjukku yang kini memasang wajah bodoh.

"Maksud gue, dia enggak perlu maksa kalau masih sakit, Gi. Mending istirahat total, dia masih shock sama kejadian kemarin."

"Oke, kayaknya gue istirahat aja, Bang. Hm, gue cabut dulu, Gi," pamitku kikuk.

"Jav, lo bisa masuk kalau lo mau," bisik Ogi setelah aku mundur selangkah dari pintu.

Aku menggeleng. "Gue cukup tahu diri kok, Gi." Kemudian menjauhi sekretariat BEM dan berbalik arah.

"Javitri!" teriak Ogi, tapi tidak kuhiraukan sama sekali.

Rasanya disingkirkan begitu menyesakkan, seolah kehadiranku di sana hanya sebagai pengganggu. Sekarang, ruangan itu menjadi tempat yang ingin kuhindari selamanya. Wajah orang-orang di dalam sana ternyata selama ini hanya menunjukkan kebohongan. Mereka tidak benar-benar menginginkanku ada.

Sebenarnya salahku apa? batinku berkecamuk. Ketiga, yang harus aku lakukan hari ini adalah aku perlu berendam air es untuk mendinginkan kepala!

[]

Titip SalamWhere stories live. Discover now