Chapter 15 - Papa

6 1 0
                                    

Sekretariat BEM tidak bisa menjadi tempat persembunyianku, aku memilih menuju McD, memesan es kopi walaupun aku masih menyimpan es kopi di tas. Aku kira Ogi akan mengejarku ketika meninggalkan sekretariat ternyata tidak. Sejak kemarin setelah bentrok terjadi, tidak ada informasi rapat evaluasi atau semacamnya, tapi mengapa mereka semuanya berkumpul siang ini? Apa yang sedang mereka bahas?

Aku merenung di kursi pojokan yang terjauh dari jendela agar tidak terlihat dari luar. Sekarang aku bingung harus apa. Menghabiskan waktu di sini, lalu ke mana? Aku memilih bermain game ular yang bisa dimainkan tanpa menggunakan internet di ponsel.

Menjelang malam, aku sudah terlalu bosan untuk duduk diam di tempat yang sama sejak tadi. Dua gelas es kopi dan dua kebab sudah masuk ke perutku. Tiba-tiba kulihat Ogi masuk ke store dengan jaket BEM dan rambut yang dibiarkan tergerai.

"Untung aja lo beneran di sini," ucap Ogi sambil menarik kursi di hadapanku.

Aku terpaksa menghentikan ularku yang sedang asyik makan. "Ada apa, Gi?" tanyaku pura-pura bodoh.

"Sorry, kalau tadi lo ngerasa diusir, Jav."

"Bukannya iya?"

Ogi mengusap tengkuknya, dia tampak gugup. "Kami tadi lagi evaluasi aksi masa kemarin."

Ternyata benar rapat evaluasi. "Gue enggak terima info apapun, lho. Padahal gue salah satu panitia."

"Sebenernya Mas Pandu yang ngajak evaluasi tanpa lo, dia ... cuma mau ingetin Bang Dito, next, cewek enggak perlu sampai naik podium dan orasi."

"Kenapa cuma cewek yang enggak boleh? Ini bukan era Kartini, Gi. Harusnya cewek juga bebas bicara."

"Karena birokrasi sudah kasih peringatan ke BEM, mereka enggak mau lagi ada cewek yang jadi korban aksi masa. Mas Pandu sama Bang Dito sengaja enggak kasih kabar ke lo karena takut lo tersinggung kayak barusan."

Aku diam karena merasa tersinggung dengan keduanya. Tidak diberi kabar tentang evaluasi serta secara terang-terangan dibatasi dan dilarang oleh lingkungan sekitar untuk bicara lagi.

Kemudian kulihat Mama tergopoh masuk ke store dan menyapukan pandangannya ke sekeliling. "Javitri!" panggilnya begitu tatapan kami bertemu.

"Kenapa enggak pamitan kalau keluar rumah, Jav? Dari tadi Mama bingung cari kamu." Mama menghampiri bangkuku dengan langkah lebar."Ogi, terima kasih, ya, sudah kasih kabar ke Tante."

Aku sontak mengalihkan pandangan ke Ogi dengan melotot. "Sialan lo, Gi!"

"Mama lo telepon katanya lo kabur, sorry."

"Ayo pulang, Jav. Papa nunggu di luar." Mama meraih pergelangan tanganku.

Kedua mataku makin melebar. Kalau begini, akan panjang ini urusannya. "Aku enggak mau pulang, Ma." Kutatap Mama, berusaha memohon belas kasihan.

Ogi memandangku dan Mama bergantian, seperti mencoba mencerna situasi di antara kami. "Pulang aja, Jav."

"Lo enggak ngerti situasinya, Gi."

Ogi bergeser, memberikan kursinya pada Mama.

"Pulang ke rumah, ya. Nanti Papa marah kalau kamu begini terus," bujuk Mama cemas.

Aku mengembuskan napas panjang. "Aku bawa motor ke sini. Nanti aku pulang pakai motor." Itu hanya alasan. Tentu saja aku tidak ingin pulang ke rumah.

Titip SalamWhere stories live. Discover now