Chapter 17 - Scarlet Witch

9 1 0
                                    

Ryo benar-benar tidak menganggapku sebagai perempuan. Bagaimana bisa dia menyuruhku membawa sekardus air mineral dengan seenaknya, sedangkan dia sendiri menenteng Cavendish yang beratnya hanya satu kilogram. Ini semua pasti gara-gara aku meminta contekan terlalu banyak. Seandainya aku Scarlet Witch di film The Avengers, sudah pasti Ryo dapat kukendalikan dengan mudah.

Kulihat June dan delapan mahasiswi lain yang tergabung dalam tim basket jurusan tengah melakukan pemanasan. Setelah ini, mereka akan bertanding melawan tim basket jurusan sebelah, Jurusan Teknik Mesin. Latihannya sendiri sudah dilakukan sejak sebelum UAS. Karena jadwal Piala Rektor yang seharusnya dimulai ketika hari terakhir UAS, ternyata dimundurkan hingga awal semester genap.

"Jav!" sapa June sambil melambaikan tangan dari tengah lapangan. Senyumnya lebar, seolah dia senang karena kehadiranku di lapangan untuk memberinya semangat.

"Simingit, Kakak!" balasku dengan teriakan lebay tanpa melambaikan tangan. Ya, bagaimana bisa aku mengangkat tanganku ketika keduanya digunakan untuk mengangkat sekardus air mineral.

Tiba-tiba Mas Angga menghampiriku dan merebut kardus di tanganku untuk dibawa ke tribun. "Ryo! Kok malah Javitri yang lo suruh bawa air, sih? Lo, tuh, gentle dikit, kek!"

"Dia sendiri yang minta bawa, Mas!" ucap Ryo mengada-ada.

Aku hanya melengos. Kualihkan pandangan ke arah June yang melakukan lay-up bola ke ring dan selalu berakhir sempurna. Memang sehebat itu teman sekamarku. Aku boleh bangga, kan?

Ryo yang awalnya duduk di bangku tribun paling atas, tiba-tiba duduk di sampingku sambil mendekatkan bibirnya di telingaku. "June kalau lagi basket cakepnya nambah sepuluh kali lipat, ya," bisiknya.

"Juuun, kata Ryo lo cak—" Aku tidak bisa melanjutkan ucapanku karena tangan Ryo sudah membekap mulutku rapat.

"Anjir, enggak perlu jadi ember bocor juga!"

"Hppph, hppph!" Aku mendorong tangan Ryo dengan kuat. Gila, dia habis pegang apa, sih, tangannya bau banget!

"Heh, kalian berdua jangan bermesraan di sini! Tolong dijunjung tinggi perikejomloan-nya!" goda Mas Angga yang melihat tingkah bengek kami dari pinggir lapangan.

Ryo sontak melepas tangannya. "Mas, lo kalau bikin fitnah bagusan dikit, kek! Masa iya gue sama Jav bermesraan!"

Aku membuang ludah berkali-kali di pinggir tribun, gara-gara tangan Ryo yang bau. Aku tidak mengindahkan ucapan Mas Angga barusan, terserah dia mau bilang apa.

"Lha terus kalian lagi ngapain kalau enggak lagi bermesraan namanya?"

"Lagi berhubungan intim!" sahut Ryo makin menjadi-jadi.

Aku yang mendengarnya bergegas memukul lengan Ryo dengan sangat keras. "Sampah banget omongan lo!"

Mas Angga malah tertawa. "Kalian hati-hati aja, awalnya perang, lama-lama jadi lamaran."

"Mas, lo kalau doain yang baik-baik aja kenapa, sih?" decakku sebal.

"Lah, lo kira kalau gue melamar cewek termasuk doa jelek? Gini-gini banyak yang antri kali." Ryo menepuk dadanya jemawa.

"Iya pada antri buat geplak kepala lo!" sahutku sambil menjauh dari tempat duduk Ryo. Aku memilih duduk di bangku paling depan, di dekat Mas Angga yang auranya lebih adem dibanding Ryo.

Pertandingan basket putri antara Jurusan Teknik Elektro melawan Teknik Mesin ini menjadi opener Piala Rektor paling meriah. Tribun penuh, bahkan hingga di luar lapangan banyak yang rela berdiri karena area lapangan outdoor lebih kecil dibandingkan lapangan indoor. Beberapa kali aku mendengar suara mahasiswa meneriaki nama June untuk memberi semangat. Lalu permainan berakhir dengan kemenangan di tangan jurusanku dan June sebagai penyumbang angka terbanyak.

"Jav, pulang bareng gue aja," ucap June sambil menyeka keringat dan duduk berselonjor di pinggir lapangan.

Aku mengangguk saja karena sudah tidak ada motor.

Mas Angga memanggil seluruh anggota tim basket putri yang terdiri dari berbagai angkatan untuk evaluasi permainan. Aku masih duduk di tempat yang sama, tribun paling depan sehingga ucapan Mas Angga juga terdengar jelas olehku.

Di tengah-tengah evaluasi, seorang laki-laki dengan ransel cokelat dengan kemeja garis vertikal serta kacamata berjalan mendekat. Tidak ada yang memerhatikannya karena mereka sedang sibuk membahas permainan barusan.

Lalu tiba-tiba menyerahkan paperbag pink dengan pita cantik ke arah June. "June, buat kamu. Kamu mainnya keren banget," ucapnya tanpa terbata. Kalimatnya lancar dan mulus, seperti Pak Pres sedang memberi sambutan.

Tiga detik pertama kami semua hening, melongo menatap laki-laki itu. Namun, selanjutnya kami heboh bersorak-sorai. "Ciyeee ... Juun ... Suwit, suwit."

June cuma diam, tidak menolak ataupun berterimakasih sampai laki-laki itu pergi dari lapangan. "Anggota JFC bertambah satu pemirsa!" teriak Dion dari tribun atas sambil menabuh drum yang sengaja dibawa untuk memberi support ke pemain saat pertandingan berlangsung tadi.

"JFC apaan?" tanya Mas Angga.

"June Fans Club! Ikutan kagak lo, Mas? Biaya pendaftaran gratis! Ketua permanennya Ryo!" balas Dion masih sambil teriak.

Ah, iya Ryo di mana? Aku menoleh, menyapukan pandangan ke sekeliling. Tidak kutemukan sosok Ryo yang tadinya duduk di belakangku. Lari ke mana dia? Padahal aku sudah rela mengikutinya ke lapangan, tapi dia justru pergi dulu tanpa berpamitan.

Setelah tiga puluh menit menunggu June, aku sudah kembali ke indekos. Menyalakan pompa air sebelum naik ke kamar, mengisi bak mandi, lalu membersihkan diri dan barulah aku berencana tidur dengan nyenyak.

Akan tetapi, baru saja kakiku akan melangkah ke kamar mandi, ponselku berdering, ada telepon masuk dari Ogi.

"Ada apa?" tanyaku langsung. Kalau mengingat Ogi saat di McD waktu itu, aku jadi sebal. Gara-gara dia, Papa mengekangku lagi.

"Halo, Jav, udah balik ke kos belum?"

"Udah. Kenapa?"

"Besok pagi ketemu di kantin kampus bisa? Gue perlu ngomong sesuatu, nih."

"Siang aja, gue males jalan kaki pagi-pagi. Anak kos enggak ada yang bisa gue tebengin." Aku beralasan.

"Lo enggak bawa motor?"

"Bokap enggak ngebolehin gue bawa motor lagi," jawabku ketus.

Ogi diam beberapa detik. "Gue jemput aja ke kosan kalau gitu."

"Lo enggak bisa ngomong lewat telepon aja?"

"Lebih enak ngomong langsung, sih."

"Ya, udah, terserah lo."

"Oke. Btw, salam ya buat Wita."

"Hmm ...." Ternyata ujungnya sama saja. Kemudian kuhentikan panggilan sebelum Ogi bertanya atau bicara lagi.

Aku masuk ke kamar dan meletakkan tas, tapi tiba-tiba Tiar membuka pintu kamarnya dan tampak berlari menuju kamar mandi.

"Tiaaar, lo kenapa selalu serobot gue yang mau mandi, sih! Itu air biarin nyala, jangan sampai kosong lagi baknya!" teriakku dan berlari mengejarnya hingga di depan kamar mandi, tapi Tiar tidak menjawab.

Aku beralih menggedor pintu. "Tiar! Lo denger, kan, apa yang gue bilang barusan!"

"Iya denger, cerewet amat!" balas Tiar ketus.

Kuputar tubuhku ke arah berlawan sambil mendengus kesal. "Kalau enggak cerewet, lo juga enggak bakal sadar!" gumamku.

Masalah di indekos memang serba sepele. Namun, jika dibiarkan malah menjadi kebiasaan dan mengganggu kenyamanan member indekos lain, sedangkan harapan tempat tinggal ternyaman bagiku sangat bergantung pada indekos ini. Ya, karena aku sudah terlalu benci tinggal di rumah! Lagi-lagi, seandainya aku Scarlet Witch, tentu semua bisa kusihir dengan mudah sesuai kemauanku.

[]

Titip SalamWhere stories live. Discover now